metkompang 2

3:30:00 PM 0 Comments


1.    Mengapa kecukupan lemak tidak dapat ditentukan?
Lemak merupakan sumber energi dengan konsentrasi yang cukup tinggi. Dalam 1 g lemak dapat menghasilkan energi sebanyak 9 kkal. Lemak memiliki fungsi sebagai sumber asam lemak esensial, pelarut vitamin A, D, E, dan K, serta pemberi rasa gurih dan sedap pada makanan (Krisnatuti & Yenrina 2006).
Kecukupan gizi lemak tidak dapat ditentukan. Hal ini disebabkan oleh metabolisme lemak dalam tubuh, dimana lemak juga diposisikan sebagai sumber energi. Sumber energi lain bisa berasal dari karbohidrat dan protein (Fennema, 1996). Lemak mengalami metabolisme kompleks di dalam hati. Hati memfasilitasi metabolisme lemak dan penyerapannya dengan membentuk garam bile. Hati juga memiliki sistem enzim yang aktif untuk metabolisme dan sintesis lemak (Murray et al., 2003). Ketika lemak dikonsumsi secara berlebih, maka lemak tersebut akan disimpan dalam jaringan adiposa. Dan ketika lemak kurang dikonsumsi, maka akan terjadi sintesis lemak oleh sistem enzim aktif yang berada dalam hati.

2.    Apa akibat defisiensi asam lemak esensial?
Asam lemak esensial dibutuhkan oleh tubuh karena asam lemak tidak bisa disintesis dari senyawa lainnya. Bagian dari asam lemak esensial yang paling dominan adalah asam linoleat (LA atau omega 6) dan asam alfa linolenat (ALA atau omega 3) (Whitney dan Rolfes, 2008). Asam lemak esensial dalam tubuh berfungsi untuk perkembangan otak, saraf, dan jaringan lainnya. Defisiensi asam lemak esensial memicu gejala terhambatnya pertumbuhan pada anak-anak, timbulnya luka pada kulit, dermatitis sisik kering, gangguan penyembuhan luka, kegagalan reproduksi, terbentuknya lemak hati, dan polidipsia pada orang dewasa (Connor, 1997). Defisiensi ALA apad anak-anak akan mengganggu fungsi penglihatan dan perkembangan kognitifnya (Murray et l., 2003).
.
3.    Bagaimana menentukan kecukupan vitamin dan mineral?
Palupi, Zakaria, dan Prangdimurti (2007) menyatakan metode evaluasi kecukupan vitamin dan mineral dapat dilakukan secara in vitro maupun in vivo. Metode in vitro dilakukan berdasarkan sistim pencernaan misalnya secara enzimatis, sedang metode in vivo dilakukan dengan menggunakan hewan percobaan atau manusia. Pada percobaan in vivo menggunakan hewan, sampel dapat diambil pada beberapa tahap seperti pada lambung, usus halus, darah dan organ.
Nilai biologis vitamin dan mineral produk pangan, selain dipengaruhi oleh senyawa lain yang terdapat dalam bahan tersebut juga dipengaruhi oleh cara pengolahannya. Hal ini disebabkan karena pengolahan pangan dapat mempengaruhi bentuk kimia dan bioavailabilitas beberapa mineral serta mendegradasi dan mengurangi nilai biologis dan ketersediaan beberapa vitamin. Untuk uji in vitro vitamin, dilakukan proses pencernaan yang mensimulasi pencernaan pada lambung dengan enzim pepsin,usus kecil dengan menggunakan tripsin dan atau tanpa kemotripsin. Pada evaluasi vitamin dengan sistem in vivo, kesetimbangan input dan output dapat ditentukan, artinya berapa jumlah yang terserap dan yang memasuki kolon lau terbuang ke feses. Selanjutnya, daya serap (absorbability) dapat ditentukan dengan menganalisa kadar vitamin dalam plasma sedang penggunaan dapat ditentukan melalui analisis fungsi seluler. Pada percobaan in vivo, pangan uji diberikan pada hewan percobaan, misalnya tikus yang dibagi dalam beberapa kelompok. Salah satu kelompok dijadikan kelompok kontrol, yaitu yang mendapat diet standard laboratorium. Kelompok yang lain mendapat diet standard yang ditambahkan pangan uji. Jumlah pangan uji dapat dibuat bervariasi dengan beberapa konsentrasi.
Pengambilan sampel untuk mengevaluasi ketersediaan hayati mineral dari pangan dapat ditentukan dengan menganalisis kesetimbangan mineral mulai dari daya cerna , serap, distribusi dan penggunaan dalam sel. Analisis pada feses dan urin berfungsi untuk menentukan kesetimbangan input (jumlah yang masuk) dan yang keluar melalui feses dan urin. Pengeluaran melalui urin menggambarkan penggunaan dalam tubuh. Untuk menentukan daya cerna, sampel diambil dari lambung atau usus kecil. Untuk daya serap, sampel diambil dari darah sedang untuk mengukur penggunaan oleh sel, sampel diambil dari hati atau organ target lain yang sesuai. Pengukuran ketersediaan ini bersifat apparent (bukan absolut). Pengukuran bioavailability secara absolut harus menggunakan radio isotop yang cukup berbahaya.
Untuk uji in vitro, dilakukan proses pencernaan yang mensimulasi pencernaan pada lambung dengan enzim pepsin,usus kecil dengan menggunakan tripsin dan atau tanpa kimotripsin.. Pada evaluasi dengan sistim in vivo, kesetimbangan input dan output dapat ditentukan, artinya berapa jumlah yang terserap dan yang memasuki kolon lau terbuang ke feses. Selanjutnya, daya serap (absorbability) dapat ditentukan dengan menganalisa kadar mineral dalam plasma sedang penggunaan dapat ditentukan melalui analisis fungsi seluler. Pada percobaan in vivo, pangan uji diberikan pada hewan percobaan, misalnya tikus yang dibagi dalam beberapa kelompok. Salah satu kelompok  dijadikan kelompok kontrol, yaitu yang mendapat diet standard laboratorium. Kelompok yang lain mendapat diet standard yang ditambahkan pangan uji. Jumlah pangan uji dapat dibuat bervariasi dengan beberapa konsentrasi. Berapapun kelompok uji yang akan dibuat, semua harus mengandung kalori, kadar protein, lemak, vitamin mineral, dan serat yang sama kecuali vitamin yang akan diuji.
Berikut beberapa keuntungan metode in vivo menggunakan hewan percobaan, yaitu praktis, lebih murah, serta mudah dilaksanakan dan dikontrol perlakuannya serta rancangan percobaannya, memperlihatkan toxikodinamika dan metabolisme, tidak membahayakan peneliti dan lingkungan, serta pelaksana penelitian lebih terampil (Zakaria, Palupi, dan Prangdimurti, 2007).


4.    Cari tahu tentang GERD!
Gastro Esophageal Reflux Disease (GERD) atau Penyakit Refluks Gastro Esofagus (PRGE) merupakan kelainan saluran cerna bagian atas yang disebabkan oleh refluks gastroesofagus patologik yang frekuensinya cukup tinggi di negara maju (Asroel, 2002). Di Indonesia, penyakit ini sering tidak terdiagnosis oleh dokter bila belum menimbulkan keluhan yang berat, seperti refluks esofagitis (Mariana, 2001). Refluks gastroesofagus adalah peristiwa masuknya isi lambung ke dalam esofagus yang terjadi secara intermiten pada setiap orang, terutama setelah makan (Mariana, 2000; Patnam, 1996; Ballenger, 1997). Isi lambung tersebut bisa berupa asam lambung, udara maupun makanan (Behrman dan Kliegman, 1994; Dent et al., 2001).
Refluks yang terjadi tanpa menimbulkan gejala dan perubahan histologik mukosa esofagus, disebut refluks gastroesofagus fisiologik. Bila refluks terjadi berulang-ulang, sehingga timbul gejala dan komplikasi, disebut refluks gastroesofagus patologik atau penyakit refluks gastroesofagus, suatu istilah yang meliputi refluks esofagitis dan refluks simtomatis. Pada refluks esofagitis terjadi perubahan histologik, sedangkan refluks simtomatis menimbulkan gejala tanpa perubahan histologik dinding esofagus (Mariana, 2001; Patnam, 1996). Perbedaan gejala Refluks Gastro Esofagus (RGE) dan Penyakit Refluks Gastro Esofagus (PRGE) tersedia pada tabel 1.
RGE
PRGE
Regurgitasi dengan BB normal .
Gejala dan tanda esofagitis tidak ada




Gejala gangguan pernapasan tidak ada.


Gejala gangguan neurologis tidak ada.
Gejala dan tanda esofagitis tidak ada Gelisah
Regurgitasi dengan penurunan BB.
Gejala dan tanda esofagitis ada: gelisah persisten (persistent irritability), bayi terlihat kesakitan: sakit dada bawah, sakit menelan, pirosis pada anak, hematemesis, anemia defisiensi besi.
Gejala gangguan pernapasan ada: apnu, sianosis pada bayi, mengi, pneumonia aspirasi dan berulang, batuk kronis, stridor.
Gejala gangguan neurologis tidak ada.
Posisi leher menjadi miring.
Tabel 1. Perbedaan gambaran klinis RGE dan PRGE pada bayi dan anak-anak (Leahy et al., 2001)

Penyakit refluks gastroesofagus disebabkan oleh proses yang multifaktor. Pada orang dewasa faktor-faktor yang menurunkan tekanan sfingter esofagus bawah sehingga terjadi refluks gastroesofagus antara lain coklat, obat-obatan (misalnya aspirin), alkohol, rokok, kehamilan (Hibbert, 1997). Faktor anatomi seperti tindakan bedah, obesitas, dan pengosongan lambung yang terlambat dapat menyebabkan hipotensi sfingter esofagus bawah sehingga menimbulkan refluks gastroesofagus.
Esofagus dilapisi oleh epitel gepeng berlapis tak berkeratin yang tebal dan memiliki dua sfingter yaitu sfingter atas dan sfingter bawah. Sfingter esofagus atas merupakan daerah bertekanan tinggi dan daerah ini berada setinggi kartilago krikoid. Fungsinya mempertahankan tonus, kecuali ketika menelan, bersendawa dan muntah. Meskipun sfingter esofagus atas bukan merupakan barrier pertama terhadap refluks, namun dia berfungsi juga untuk mencegah material refluks keluar dari esofagus proksimal menuju ke hipofaring. Sfingter bawah esofagus berfungsi mempertahankan tonus waktu menelan dan relaksasi saat dilalui makanan yang akan memasuki lambung serta mencegah refluks. Relaksasi juga diperlukan untuk bersendawa (Asroel, 2002).
Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus bawah dalam keadaan relaksasi atau melemah oleh peningkatan tekanan intra abdominal sehingga terbentuk rongga diantara esofagus dan lambung. Isi lambung mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika isi lambung mencapai esofagus bagian proksimal dan sfingter esofagus atas berkontraksi, maka isi lambung tersebut tetap berada di esofagus dan peristaltik akan mengembalikannya ke dalam lambung. Jika sfingter esofagus atas relaksasi sebagai respon terhadap distensi esofagus maka isi lambung akan masuk ke faring, laring, mulut atau nasofaring. Secara ringkas, proses terjadinya refluks diilustrasikan pada gambar 1.
Gambar 1.Mekanisme terjadinya Refluks (Asroel, 2002)

Gumpert (1998) menyatakan gejala yang timbul kadang-kadang sukar dibedakan dengan kelainan fungsional lain dari traktus gastrointestinal, antara lain rasa panas di dada (heart burn), terutama post prandial heart burn, nyeri dada substernal, sendawa, mual, muntah, cegukan, disfagia, odinofagia, dan suara serak.






5.    Gambarkan ikatan peptida antar asam amino!
Gambar 2. Ikatan peptida antar asam amino (nanobiologynotes.blogspot.com)

6.    Apa yang disebut dengan lactose intolerance?
Lactose intolerance adalah ketidakmampuan tubuh untuk mencerna secara signifikan sejumlah laktosa, gula utama yang terdapat pada susu (Peeva, 2001). Lactose intolerance disebabkan oleh kurangnya produksi enzim laktase, yang biasanya diproduksi oleh sel yang berada di sekitar usus halus. Laktase memecah gula susu menjadi dua bentuk sederhana, yaitu glukosa dan galaktosa, yang kemudian diserap ke dalam pembuluh darah. Lactose intolerance murni disebabkan oleh permasalahan pada sistem pencernaan (Itan et al., 2010).
Orang-orang yang tidak memiliki cukup laktase akan merasa tidak nyaman saat mencerna produk susu. Gejala yang lebih khusus, yaitu mual, kejang perut, kembung, dan diare. Gejala dimulai sejak 30 menit sampai 2 jam setelah mengkonsumsi makanan atau minuman yang mengandung laktosa. Beratnya gejala yang timbul dipengaruhi oleh jumlah laktosa yang bisa ditoleransi, umur, etnis, dan laju pencernaan (Bulhões et al., 2007).
 Menurut National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (2006), defisiensi laktase dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu defisiensi laktase primer dan defisiensi laktase sekunder. Defisiensi laktase primer merupakan gejala kekurangan laktase sejak umur 2 tahun, dimana orang-orang yang menderita defisiensi laktase primer hanya mampu memproduksi sedikit laktase. Defisiensi laktase sekunder terjadi karena gangguan pada usus halus atau penyakit pencernaan lain yang menghambat produksi enzim laktase.
Diare yang muncul disebabkan beberapa hal, yang pertama karena laktose tidak dapat dicerna sehingga dikeluarkan oleh tubuh. Cairan yang banyak di feses dikarenakan tubuh mengeluarkan sejumlah cairan lain untuk menstabilkan keadaan pH dalam perut dan mencoba mencerna laktosa. Yang kedua, diare muncul karena adanya stimulus dari saraf bahwa adanya zat asing yang masuk ke dalam tubuh melewati saluran pencernaan. Tubuh berusaha untuk mengeluarkan zat asing tersebut dan meresponnya dengan mengeluarkannya banyak cairan pada feses.

7.    Gambarkan struktur lesitin dan bagaimana lesitin bekerja sebagai emulsifier?
Gambar 3. Struktur lesitin (indiana.edu)

Lesitin mengandung sekitar 13 % kolin berdasar berat. Lesitin juga zwiter ion, mempunyai muatan positif pada atom N kolin dan muatan negatif pada atom O dari grup phospat. Lesitin dapat bersifat polar (bagian kolin) dan non polar (bagian asam lemak) sehingga sangat efektif sebagai emulsifier dan digunakan dalam berbagai sistem “drug delivery”. Lesitin dan phospolipid lain mengandung komponen hidrofobik dan hidrofilik yang digunakan sebagai sifat fungsional dalam pengolahan pangan. Lesitin dapat digunakan sebagai emulsifier, fat replacer, mixing/blending aid, release agent (Hartoyo, 2002).
Sebagai food ingredient, lesitin termasuk GRAS (Generally Recognized as Safe). Lesitin banyak digunakan untuk produk baking, keju, chewing gum, cokelat, frosting, infant formula, margarin, susu bubuk, non dairy cream, salad dressing dan sebagainya. Lesitin komersial yang digunakan dalam suplemen gizi umumnya merupakan campuran phospatidil kolin dan phospolipid lain yang diekstrak dari kedelai. Meskipun lesitin dan kolin dapat ditemukan pada berbagai bahan pangan, biasanya bahan pangan yang kaya lesitin atau kolin juga tinggi kolesterol dan lemak seperti telur, daging, organ/jeroan. Sedangkan pada buah, sayur dan padi-padian relatif kecil jumlahnya.

8.    Apa fungsi vitamin B12? Mengapa jika kekurang vitamin B12 menyebabkan anemia? Apa bedanya dengan anemia gizi besi?
Vitamin B12, disebut juga kobalamin, sangat penting untuk kehidupan. Vitamin B12 diperlukan tubuh untuk pembuatan sel baru dalam tubuh, seperti sel darah merah (Jaouen, 2006). Sel darah merah bersirkulasi dalam tubuh dengan membawa oksigen ke dalam sel dan membuang zat yang tidak diperlukan tubuh. Tanpa vitamin B12 yang cukup, tubuh tidak akan mampu melakukan sintesis sel-sel darah merah baru dan tubuh akan kekurangan oksigen (Murray et al., 2003). Vitamin B12 dapat berasal dari daging, ikan, telur, dan susu, tetapi tidak terdapat pada buah dan sayuran. Vitamin B12 diserap tubuh dengan berikatan dengan faktor intrinsik, glikoprotein kecil yang disekresikan oleh sel parietal mukosa lambung. Kekurangan vitamin B12 dapat menimbulkan anemia dan yang paling parah bisa menimbulkan serangan jantung dan stroke. Anemia defisiensi vitamin B12 merupakan permasalahan darah yang terjadi karena kurangnya asupan vitamin B12 pada tubuh. Anemia ini sering disebut dengan anemia pernicious, anemia biermer, atau anemia addison. Anemia ini merupakan salah satu tipe anemia megaloblastik, yang disebabkan oleh hilangnya sel parietal lambung sehingga tubuh tidak mampu menyerap vitamin B12. Penghancuran autoimun atrofi gastritis menyebabkan kekurangan faktor intrinsik, sehingga terjadi defisiensi vitamin B12. Anemia pernicious meningkat saat defisiensi vitamin B12 menghambat metabolisme asam folat, menimbulkan defisiensi folat fungsional. Penyebab anemia pernicious yang utama berasal dari kegagalan penyerapan vitamin B12, bukan dari kekurangan asupan vitamin B12.
Anemia ini berbeda dengan anemia gizi besi, dimana anemia gizi besi merupakan  suatu keadaan dimana terjadi penurunan cadangan besi dalam hati, sehingga jumlah hemoglobin darah menurun dibawah normal (Murray et al., 2003). Sebelum terjadi anemia gizi besi, diawali lebih dulu dengan keadaan kurang gizi besi (KGB).  Keadaan kurang gizi besi yang berlanjut dan semakin parah akan mengakibatkan anemia gizi besi, dimana tubuh tidak lagi mempunyai cukup zat besi untuk membentuk hemoglobin yang diperlukan dalam sel-sel darah yang baru. Sabrini dkk. (2010) menyatakan faktor penyebab langsung anemia gizi besi meliputi jumlah Fe dalam makanan tidak cukup, absorbsi Fe rendah, kebutuhan naik serta kehilangan darah, sehingga keadaan ini menyebabkan jumlah Fe dalam tubuh menurun. Menurunnya Fe (zat besi) dalam tubuh akan memberikan dampak yang negatif bagi fungsi tubuh.

9.    Bagaimana fitat, tanin, dan oksalat mencegah penyerapan mineral?
Asam fitat atau garamnya merupakan bentuk penyimpanan senyawa fosfor dalam jaringan tanaman, terutama pada kulit dan benih. Asam fitat memiliki afinitas ikatan yang kuat terhadap mineral penting bagi tubuh, seperti kalsium, magnesium, besi, dan seng (Ali et al., 2010). Saat mineral berikatan dengan asam fitat, maka mineral tersebut tidak mudah larut, terpresipitasi, dan tidak dapat diabsorbsi dalam usus halus. Sebuah penelitian menunjukkan pengkelatan mineral oleh asam fitat dipengaruhi oleh pH (Dendougui dan Schwedt, 2004).
Asam oksalat atau asam etanadioat merupakan asam dianion yang banyak terdapat berbagai bahan pangan, terutama sayuran. Seperti halnya fitat, asam oksalat mampu mengkelat mineral sehingga membentuk endapan yang tidak larut (Hossain et al., 2003). Ion oksalat mampu berikatan dengan kation bivalen, seperti ion kalsium dan ion ferro, yang mampu membentuk kristal yang akan dieksresikan dalam urin dan menjadi batu ginjal. Morozumi et al. (2006) menyatakan bahwa suplemen kalsium yang diberikan bersamaan dengan makanan yang kaya akan asam oksalat kepada mencit akan mengakibatkan terbentuknya endapan kalsium oksalat pada usus dan mengganggu penyerapan kalsium dalam usus halus.
Tanin merupakan komponen fenolik mayoritas yang terdapat di dalam serealia (Murtini, Radite, dan Sutrisno, 2010). Tanin tersebut terkonsentrasi di dalam testa dan pericarp di dalam biji serealia. Tanin dipandang sebagai sesuatu yang tidak menguntungkan karena sifat anti gizinya. Tanin membentuk komplek ikatan dengan makromolekul yang menurunkan daya cernanya. Akan tetapi, tanin memiliki sisi menguntungkan karena adanya aktifitas antioksidan yang tinggi (Awika et al, 2003). Tanin di dalam serealia mengurangi daya cerna dan efisiensi pemanfaatan nutrisi dari 3 % - 15 % (Waniska, 2000). Interaksi tanin dengan mineral berupa ikatan yang sangat kuat sehingga mengakibatkan mineral tidak bisa terserap dalam tubuh.

Daftar Pustaka
Ali M, Shuja M.N, Zahoor M, dan Qadri I. 2010. Phytic acid:how far have we come. African Journal of Biotechnology 9 (11): 1551–1554. 
Asroel H.A. 2002. Penyakit Refluks Gastro Esofagus. Medan: USU Digital Library Document.
Awika JM, Dykes L, Gu L, Rooney L.W, dan Prior R.L. 2003. Processing of Sorghum (Sorghum Bicolor) and Sorghum Products Alters Procyanidin Oligomer and Polimer Distribution and Content. J. Agric. Food Chem 51: 5516-5521
Ballenger JJ. 1997. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Jilid 2. Edisi 13. Jakarta : Binarupa Aksara.
Behrman R.E. dan Kliegman RM. 1994. Nelson essential pediatrics. Edisi ke-2. Philadelphia: Saunders.
Bulhões A.C, Goldani H.A.S, Oliveira F.S, Matte U.S, Mazzuca R.B, Silveira T.R. 2007. Correlation Between Lactose Absorption and The C/T-13910 and G/A-22018 Mutations of The Lactase-Phlorizin Hydrolase (LCT) Gene In Adult-Type Hypolactasia. Brazilian Journal of Medical and Biological Research 40 (11): 1441–6.
Connor W.E. 1997. The Beneficial Effects of Omega-3 Fatty Acids: Cardiovascular Disease and Neurodevelopment. Curr Opin Lipidol 8:1
Dendougui Ferial dan Schwedt George. 2004. In vitro analysis of binding capacities of calcium to phytic acid in different food samples. European Food Research and Technology 219.
Dent J, Jones R, Kahrilas P, dan Talley N.J. 2001. Management of gastro-oesophageal reflux disease in general practice. New York: BMJ.
Fennema O.R. 1996. Food Chemistry. Third Edition. New York: Marcel Dekker Inc.
Gumpert L. 1998. Hoarseness and gastroesophageal reflux in children. The Journal of Laryngology and Otology Vol.112: 49-54.
Hartoyo A. 2002. Lesitin Tidak Hanya Penting Untuk Proses Pangan Tapi Juga Untuk Kesehatan. Bogor: ITP FATETA IPB.
Hibbert J. 1997. Scott-Brown’s Otolaryngology. 6th ed. Oxford : Butterworth-Heinemann.
Hossain RZ, Ogawa Y, Morozumi M, Hokama S, dan Sugaya K. 2003. Milk and Calcium Prevent Gastrointestinal Absorption and Urinary Excretion of Oxalate in Rats. Front Biosci. 8: a117–25.
indiana.edu (diakses pada 4 Maret 2011)
Itan, Y., Jones, B. L., Ingram, C. J. E., Swallow, D. M. dan Thomas, M. G. 2010. A worldwide correlation of lactase persistence phenotype and genotypes. BMC Evolutionary Biology 10: 36.
Jaouen G. 2006. Bioorganometallics: Biomolecules, Labeling, Medicine. Weinheim: Wiley-VCH.
Krisnatuti W. dan S. Yenrina. 2006. Kecukupan Energi bagi Tubuh. Surabaya: Jati Press.
Leahy A, Besherdas K, Clayman C, Mason I, dan Epstein O. 2001. Gastric dysrhythmias occur in gastro-oesophageal reflux disease complicated by food regurgitation but not in uncomplicated reflux. Journal of Gut 48: 212-5.
Mariana Y. 2000. Penyakit Refluks Gastroesofagus dalam Penatalaksanaan Penyakit dan Kelainan Telinga-Hidung-Tenggorok. Edisi 2. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.
Mariana Y. 2001. Penyakit Refluks Gastroesofagus dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Morozumi M, Hossain R.Z, Yamakawa K.I, Hokama S, Nishijima S, Oshiro Y, Uchida A, Sugaya K, dan Ogawa Y. 2006. Gastrointestinal Oxalic Acid Absorption in Calcium-Treated Rats. Urol Res 34: 168.
Murray R.K, Granner D.K, Mayes P.A, dan Rodwell V.W. 2003. Harper’s Ilustrated Biochemistry. New York: Mc Graw-Hills Comp.
Murtini E.S, Radite A.G, dan Sutrisno A. 2010. Degradasi Senyawa Pembatas dan Peningkatan Daya Cerna Protein in vitro pada Sorgum Coklat (Sorghum bicolor) dengan Metode Fermentasi Tempe. Jurnal Teknologi Industri Pangan 15:03.
nanobiologynotes.blogspot.com (diakses pada 4 Maret 2011)
National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases. 2006. Lactose Intolerance -- How is lactose intolerance diagnosed? National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases, National Institutes of Health.
Palupi N.S, Zakaria F.R, dan Prangdimurti E. 2007. Evauasi Nilai Biologis Vitamin dan Mineral. Bogor: Fateta IPB.
Peeva (2001). Composition of Buffalo Milk. Sources of Specific Effects On The Separate Components. Bulg. J. Agric. Sci. 7: 329–35.
Putnam PE. 1996. Gastroesophageal Reflux dalam Pediatric Otolaryngology Vol. 2. 3rd ed. Philadelphia : WB Saunders Co.
Sabrini, Tanuwiharja E.D, dan Fadhillah F. 2010. Laporan Presentasi Farmakoterapi Anemia. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Waniska, Ralph D. 2000. Structure, Phenolic Compounds, and Antifungal Proteins of Sorghum Caryopses. Technical and Institutional Options for Sorghum Grain Mold Management 72-106.
Whitney E. dan Rolfes S.R. 2008. Understanding Nutrition. 11th Ed. California: Thomson Wadsworth.
Zakaria F.R, Palupi, N.S, dan Prangdimurti E. 2007. Prinsip Dasar Metode In Vivo: Penggunaan Hewan Percobaan. Bogor: Fateta IPB.

andikaprakoso

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 comments: