Proses Termal dan Refrigerasi

9:58:00 AM 2 Comments

1.      Menurut kalian, tepatkah bila ikan sarden yang akan dikalengkan diproses secara pasteurisasi? Jelaskan beserta alasan dan hubungkan dengan aspek mirobiologi, pengolahan, dan sensorinya!
Pasteurisasi merupakan proses termal dalam industri makanan kalengan yang berfungsi mematikan seluruh mikroba vegetatif yang bersifat patogen dan mampu mengakibatkan perubahan pada bahan pangan yang dikalengkan dengan suhu di bawah titik didih air atau di bawah suhu sterilisasi. Namun, pasteurisasi tidak membunuh mikroba dalam bentuk spora atau pun mikroba yang bersifat non-patogen terhadap manusia (Smith dan Hui, 2004). Kilinc dan Cakli (2004) mengemukakan bahwa terdapat perbedaan nyata kadar air dan kandungan protein antara sarden yang dipasteurisasi dan sarden yang tidak dipasteurisasi. Selain itu, tidak terdapat perbedaan nyata kadar abu dan kandungan lemak antara sarden yang dipasteurisasi dan sarden yang tidak dipasteurisasi. Kemudian, tidak ada perbedaan nyata antara kualitas antara sarden yang dipasteurisasi dan kualitas sarden yang tidak dipasteurisasi selama 6 bulan. Namun, terdapat perbedaan nyata pertumbuhan mikroba selama 6 bulan antara sarden yang dipasteurisasi dan sarden yang tidak dipasteurisasi, dimana pertumbuhan mikroba lebih sedikit pada sarden yang dipasteurisasi (Aksu et al., 1997).
Selama penyimpanan produk pasteurisasi, formaldehida dan dimetilamin terbentuk karena degradasi trimetilamin oksida oleh trimetilamin oksidase (Aubourg, 1998). Molekul yang terbentuk sangat reaktif untuk berikatan dengan protein sehingga terjadi degradasi protein secara natural dan penurunan kualitas sarden (Orlick, Oechlenschlager, dan Schreiber, 1991). Tidak terdapat perbedaan nyata asam lemak bebas dan total antara kedua produk. pH dari kedua produk juga sama-sama meningkat. Hal ini terjadi karena terbentuknya amonia dari deaminasi asam amino (ICMSF, 1978). Secara mikrobiologi, Angka Paling Memungkinkan (APM) dan jumlah bakteri asam laktat pada sarden yang dipasteurisasi jauh lebih rendah dibandingkan sarden yang tidak dipasteurisasi. Tetapi, pada akhir penyimpanan selama 6 bulan, sarden yang dipasteurisasi dan sarden yang tidak dipasteurisasi sudah tidak layak dikonsumsi berdasarkan analisis sensorinya. Di Indonesia, nilai F yang digunakan pada pasteurisasi sarden kalengan sangat beraneka ragam dan umumnya terlalu berlebihan sehingga mengakibatkan overcook dan mutu produk menurun. Di sisi lain, nilai F yang digunakan pada sterilisasi sarden kalengan sudah dalam kategori mencukupi (ITP, 2006). Jadi, dapat dikatakan bahwa proses ikan sarden yang akan dikalengkan secara pasteurisasi merupakan cara yang kurang tepat.

2.      Apakah exhauster yang kita gunakan untuk menghilangkan headspace di pengalengan cukup efektif? Jelaskan alasan dan berikan solusi jika tidak efektif!
Exhauster yang digunakan di pilot plan tergolong kurang efektif. Dari sisi kelayakan penggunaan alat, keran suplai uap panas dari boiler menuju exhauster sangat tidak efektif karena keran akan menjadi panas ketika uap panas sudah tersalur dan merepotkan praktikan untuk menghentikan suplai uap panas. Selain itu, sistem manual yang digunakan dari exhauster menuju double seamer menjadikan proses ini kurang efektif karena waktu untuk transportasi satu kaleng dari exhauster ke double seamer dengan kaleng lainnya berbeda-beda. Hal ini disebabkan pemindahan tersebut harus menggunakan cara manual (menggunakan tangan) dengan kendala utama berupa panas dari uap exhauster tersebut.
Seharusnya, dibuat suatu sistem kontinyu antara exhauster dan double seamer dimana conveyor dari exhauster juga berhubungan sampai ke akhir proses double seamer, sehingga waktu transportasi antara exhauster dan double seamer menjadi konstan. 

3.      Buncis yang dikalengkan menjadi berbau langu dan berwarna pucat. Bagaimana cara menghilangkan bau dan mempertahankan warnanya? Jelaskan beserta landasan teorinya!
Dalam proses pengalengan, faktor jenis bahan pangan yang akan diproses sangat memegang penting, khususnya dalam mempengaruhi ketahanan panas bakteri. Salah satu faktor tersebut adalah pH dari bahan pangan. Umumnya, sel atau spora paling tahan pada substrat yang berada pada pH dekat netral. Buncis memiliki pH 5,2 – 6,8 (di atas 4,5) yang berarti buncis termasuk bahan pangan berasam rendah dimana sel atau spora berada pada tingkat paling tahan panas (Morgan, 2001). Golongan bakteri yang paling penting untuk diperhatikan adalah spora termofilik dan spora mesofilik (termasuk Clostridium botulinum). Hal ini berarti buncis bisa disterilisasi dengan proses High Temperature Short Time (HTST).
Proses ini tentu saja harus mempertahankan zat nutrisi dan faktor mutu bahan pangan semaksimum mungkin (Muchtadi, 2008). Zat nutrisi dan faktor mutu, seperti vitamin, warna, tekstur, citarasa, dan juga enzim, jauh lebih tahan panas daripada sel vegetatif maupun spora (Fellow, 2002). Hal ini menguntungkan karena kalau tidak demikian setiap proses termal yang dilakukan tidak bermanfaat sama sekali. Namun, zat nutrisi dan faktor mutu menunjukkan ketergantungan terhadap suhu yang berbeda nyata. Sedangkan enzim memiliki ketergantungan suhu yang jauh lebih lebar. Berdasarkan hal ini, optimasi proses retorting dapat dijalankan dengan adanya sortasi dan grading pada buncis yang akan digunakan. Buncis yang dipilih tidak terlalu matang. Namun, buncis yang tidak terlalu matang juga akan mengalami pematangan karena adanya aktivitas enzim. Oleh karena itu, buncis juga harus mengalami proses blanching untuk inaktivasi enzim dengan panas. Jika enzim tidak diinaktivasi, akan terjadi perubahan citarasa, warna, tekstur, dan sifat sensori lain. Setelah itu, buncis juga harus direndam dalam larutan NaOH 4,5% dalam air mendidih selama 1-1,5 menit dan dicuci sampai bersih menggunakan air mengalir. Perendaman dengan larutan garam akan sedikit mengurangi kecepatan mencairnya air dalam buncis. Selain itu, larutan garam juga berfungsi mempertahankan warna, flavor, dan mencegah oksidasi pada zat mutu buncis (Muchtadi, 2008).

4.      Bila dalam suatu alat pendingin tidak memiliki katup ekspansi, apakah proses refrigerasi dapat dijalankan? Jelaskan kondisi yang terjadi pada refrigerannya!
Proses refrigerasi tidak dapat berjalan. Evaporator berfungsi sebagai pengambil panas yang terdapat dalam ruangan yang akan didinginkan. Di dalam evaporator, terjadi perubahan wujud refrigeran dari cairan menjadi uap. Proses perubahan wujud refrigeran ini memerlukan energi yang sangat besar yang diambil dari lingkungan dalam ruang refrigerator. Ketika proses penguapan refrigeran terjadi, panas dari bahan pangan yang ada di dalam ruang refrigerator akan diambil. Selanjutnya, kompresor bekerja untuk meningkatkan suhu dan tekanan dari refrigeran setelah keluar dari evaporator. Melalui proses kompresi (penekanan), suhu refrigeran dapat ditingkatkan sehingga melebihi suhu di sekelilingnya. Setelah itu, kondenser berperan sebagai “pembuang” atau memindahkan panas dari bahan ke lingkungan. Suhu dan tekanan dalam kondenser meningkat, sehingga refrigeran akan melepaskan energi dalamnya ke lingkungan, dan mengalami kondensasi (mengembun). Panas dari refrigeran akan dipindahkan ke medium lain seperti air atau udara (Muchtadi, 2008).
Seharusnya, selanjutnya katup ekspansi bekerja dalam mengendalikan laju alir refrigeran sehingga suplai refrigeran konstan. Katup ekspansi memisahkan antara saluran yang bertekanan tinggi dan saluran bertekanan rendah. Saluran antara kompresor dan katup ekspansi yang melalui kondenser memiliki tekanan yang tinggi. Sebaliknya, di dalam saluran antara kompresor dan katup ekspansi yang melalui evaporator memiliki tekanan rendah. Perbedaan tekanan ini akan menyebabkan refrigeran yang berbentuk cair pada tekanan tinggi akan sangat mudah menguap pada bagian evaporator. Keadaan mudah menguap tersebut dimanfaatkan untuk mengambil panas dari lingkungan di dalam evaporator. Jika katup ekspansi tersebut tidak ada, suplai refrigeran menjadi tidak konstan, mungkin juga terjadi kebocoran refrigeran yang masih berbentuk cair. Evaporator juga tidak akan bekerja dengan baik karena tidak adanya perbedaan tekanan sehingga refrigeran tidak dapat menguap dan pengambilan panas dari lingkungan akan tidak terkontrol.

5.      Jelaskan mengapa pembuatan susu bubuk menggunakan spray drier! Bandingkan bila menggunakan pengering lain seperti drum drier, freeze drier,  dan tray drier!
Pengeringan dengan spray drier merupakan proses pengeringan dimana droplet dari larutan dikeringkan secara cepat seiring dengan kontak dengan udara panas (Toledo, 1999). Proses pengeringan terjadi secara cepat sehingga proses ini sangat bermanfaat untuk bahan pangan yang mudah rusak karena kontak dengan panas dalam waktu lama seperti susu (Earle, 2008). Bahan pangan yang biasa dikeringkan dengan spray drier harus berbentuk bubur atau cairan (Muchtadi, 2008). Susu yang mengandung protein dan laktosa dalam jumlah yang tinggi tidak mungkin mengalami kontak dengan panas dalam waktu yang lama jika tidak diinginkan kerusakan nilai gizi (Subagio, 2002).
Jika menggunakan drum drier, susu akan kontak dengan panas melalui konduksi panas dari bahan logam pada drum yang turut berputar. Tentu saja, kontak antara bahan dengan panas akan lebih lama, sehingga akan merusak nilai gizi susu. Protein pada susu akan terdenaturasi karena panas, sehingga terjadi flokulasi pada susu dan diikuti dengan koagulasi susu (Rahimah, 2010). Walaupun, susu sesuai dengan bentuk bahan pangan yang biasa dikeringkan dengan drum drier, yaitu bubur dan cairan (Muchtadi, 2008). Pada freeze drier, biasanya bentuk bahan pangan yang digunakan berupa bahan beku. Proses pemanasan terjadi secara konduksi atau pun radiasi di dalam ruang vakum dimana keberadaan pompa vakum dapat menghilangkan uap air yang terkandung dalam bahan, kemudian terkondensasi (Earle, 2008). Selain karena kontak antara bahan dengan panas yang sangat lama, diperlukan proses pembekuan susu pada awalnya, yang dapat merusak nilai gizi dari susu tersebut. Susu akan mengalami perubahan flavor dan terjadi flokulasi yang awalnya reversibel menjadi irreversibel (Rahimah, 2010). Meskipun, penggunaan freeze drier dapat memperkecil kerusakan nilai gizi pada susu.
Penggunaan tray drier pada pengeringan diaplikasikan pada produk berbentuk potongan, bubur, atau cairan (Muchtadi, 2008). Bahan diletakkan secara merata di atas wadah dan akan mengering seiring dengan panas melalui dari udara dalam tray drier, konduksi dari wadah yang dipakai, atau pun secara radiasi dari pelat pemanas (Earle, 2008).  Bila susu dikeringkan menggunakan tray drier, susu akan mengalami kontak yang lama dengan panas, sehingga susu akan mengalami kerusakan berupa denaturasi protein yang diikuti oleh flokulasi dan koagulasi susu (Rahimah, 2010).

6.      Apakah vacuum drier dapat digunakan untuk proses freeze drying?
Freeze drying merupakan cara pengeringan paling efektif untuk mencegah terjadinya perubahan nilai mutu dan nilai gizi produk pangan. Pada freeze drying, bahan terlebih dulu dibekukan dan air dikeluarkan dari bahan secara sublimasi, sehingga prosesnya merupakan perubahan dari bahan padat menjadi uap dan proses ini dilakukan dalam keadaan vakum (tekanan < 4 mmHg). Suhu yang digunakan pada freeze drying adalah sekitar 10°F (-12,2 °C). Dengan cara ini, bahan akan terhindar dari kerusakan kimiawi serta mikrobiologis dan menyebabkan bahan pangan kering mempunyai citarasa yang tetap dan daya rehidratasi yang baik, serta nilai gizi yang tetap (Muchtadi, 2008). Sayangnya, proses ini tergolong mahal. Tekanan dalam ruang pengeringan ditentukan oleh temperatur dari bahan pangan. Pompa vakum bekerja untuk mengeluarkan gas tanpa kondensat uap air. Dengan jumlah uap air yang harus disublimasi yang besar, pompa vakum dibantu oleh kondensor yang mengeluarkan uap air dalam bentuk es padat (Toledo, 1999).
Di sisi lain, vacuum drying merupakan proses yang hampir sama dengan freeze drying, dimana pompa vakum berfungsi mengeluarkan gas tanpa kondensat uap air dan kondensor yang berfungsi mengeluarkan uap air tersebut (Toledo, 1999). Perbedaan vacuum drying dan freeze drying hanya terletak pada bentuk bahan pangan yang digunakan. Vacuum drier digunakan untuk mengeringkan bahan pangan berbentuk bubur, potongan, dan cairan, sedangkan freeze drier digunakan untuk mengeringkan bahan pangan berbentuk potongan (padatan). Selain itu, suhu yang digunakan sebagai setting point juga berbeda. Dari analisis ini, dapat diketahui bahwa sebenarnya vacuum drier dapat digunakan untuk freeze drying dengan beberapa perubahan proses. Bahan yang dikeringkan harus dibekukan terlebih dahulu. Selain itu, tekanan pada keadan vakum yang digunakan juga diturunkan. Penurunan tekanan ini akan mengakibatkan suhu yang digunakan juga menjadi lebih rendah, sehingga tercipta kondisi yang sesuai dengan prinsip freeze drying.

Daftar Pustaka
Aksu H, Erkan N, Colak H, Varlık C, Go¨kog˘lu N, & Ug˘ur M. 1997. Some changes in anchovy marinades during production in different acid- salt concentrations and determination of shelf life. Yu¨zu¨ncu¨yıl U¨niversıtesi Veteriner Hayvancılık Dergisi 8, 86–90.
Aubourg S.P. 1998. Influence of formaldehyde in the formation of fluorescence related to fish deterioration. Zeitschrift Fur Lebensmittel-Untersuchung Und-Forschung 206, 29–32.
Culham J.R. 2010. Refrigeration dalam Thermodynamics 2. Ontario: University of Waterloo.
Earle R.L. 2008. Unit operations in food processing. Fourth edition. New Zealand: Pergamon Commonwealth and International Library.
Fellow P.J. 2002. Food Processing Technology, Principles and Practice. Boca Raton: CRC Press.
ICMSF. 1978. Microorganisms in Foods. Volume 2. Toronto: The International Commission on Microbiological Specifications for Foods.
Ilangumaran. 2008. Food Processing and Preservation Full. Utah: Taylor and Francis.
Ilmu dan Teknologi Pangan. 2006. Pengantar Teknologi Pengalengan Pangan. Bogor: ITP IPB.
Kilinc B. dan Cakli S. 2004. Determination of the shelf life of sardine (Sardina pilchardus) marinades in tomato sauce stored at 4°C. Food Control 16, 639-644.
Morgan L. 2001. Bean. Corvalis: Growing Edge.
Muchtadi T.R. 2008. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Bogor: ITP IPB.
Orlick B, Oehlenschlager J, & Schreiber W. 1991. Changes in lipids and nitrogenous compounds in cod (Gadus morhua) and saithe (Pollachius virens) during frozen storage. Archiv fu¨r Fischerei Wissenschaft 41(1), 89–99.
Rahimah S. 2010. Sifat Fisik dan Kimia Susu. Jatinangor: FTIP Unpad.
Smith J.S. dan Hui Y.H. 2004. Food Processing: Principles and Application. Oxford: blackwell Publishing.
Subagio. 2002. Pengaruh Suhu dan Lama Pengeringan terhadap Kadar Air dan Protein Susu Bubuk dengan Metode Foaming Drying. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Toledo R.T. 1999. Fundamental of Food Process Engineering. Athens: Springer.

2 comments:

just let it be happened

11:33:00 PM 0 Comments

untuk sebuah alasan yang tak sanggup ku gerakkan bibir ku untuknya,
sebuah makna yang tak kunjung ku resapi.

maafkan aku yang telah merajut sebuah asa yang tak kunjung tergapai,
menyalakan pelita yang tak kunjung bertahan dari kecamuk angin,

atas kebodohan diriku, biarkan sang khalik menghukumku,
tapi jangan pernah kau cambuk hatimu dengan penyesalan akan tabiatmu,
karena kefanaan ini penuh metamorfosa,
metamorfosa yang menjadikan kupu-kupu menebar sayap kemilau,
metamorfosa yang menandai burung yang mengepakkan sayapnya.

dan ketika kau telah memaknai ini dengan penuh intuisi,
kau pun akan menyadari keindahan itu,
keindahan yang tak pernah akan luput dalam kenangan,
meski tak seindah asa yang dulu pernah hampir tergapai.

0 comments:

Kelatometri

10:36:00 PM 0 Comments

Pendahuluan
Kelatometri adalah metode titrasi berdasarkan pembentukan senyawa kompleks (ion kompleks atau garam yang sukar mengion) (Khopkar 2002). Kelatometri merupakan bagian dari kompleksometri, jenis titrasi dimana titran dan titrat saling mengkompleks, membentuk hasil berupa kompleks. Reaksi - reaksi pembentukan kompleks atau yang menyangkut kompleks banyak sekali dan penerapannya juga banyak, tidak hanya dalam titrasi. Kompleks yang dimaksud di sini adalah kompleks yang dibentuk melalui reaksi ion logam, sebuah kation, dengan sebuah anion atau molekul netral (Basset 1994). Salah satu zat pembentuk kompleks yang banyak digunakan dalam titrasi kelatometri adalah garam dinatrium etilendiamina tetraasetat (dinatrium EDTA). EDTA merupakan salah satu jenis asam amina polikarboksilat berupa ligan seksidentat yang dapat berkoordinasi dengan suatu ion logam lewat kedua nitrogen dan keempat gugus karboksilnya atau disebut ligan multidentat yang mengandung lebih dari dua atom koordinasi per molekul (Rival 1995). Suatu EDTA dapat membentuk senyawa kompleks yang mantap dengan sejumlah besar ion logam sehingga EDTA merupakan ligan yang tidak selektif (Harjadi 1993).
Keunggulan EDTA antara lain mudah larut dalam air dan dapat diperoleh dalam keadaan murni. Namun, karena adanya sejumlah tidak tertentu air, sebaiknya EDTA distandardisasi dahulu misalnya dengan menggunakan larutan CaCO3 (Harjadi 1993). Sebagian besar titrasi kelatometri mempergunakan indikator yang juga bertindak sebagai pengompleks dan tentu saja kompleks logamnya mempunyai warna yang berbeda dengan pengompleksnya sendiri. Indikator demikian disebut indikator metalokromat, contohnya Eriochrome Black T, yang merupakan asam organik berbasa 3 dengan warna spesifik pada pH tertentu (Khopkar 2002). Aplikasi metode kelatometri ini adalah penentuan kesadahan total air keran dan kandungan Ca2+ pada buah belimbing. Kesadan total air biasanya diakibatkan oleh adanya kontaminan ion Ca2+ dan Mg2+ (Earle 2003). Dalam percobaan ini, kesadahan total air dianggap hanya disebabkan oleh kontaminan ion Ca2+ dan Mg2+ tanpa kontaminan lainnya.

Tujuan Percobaan
Percobaan ini bertujuan melatih mahasiswa melakukan analisis ion logam dengan titrasi kelatometri.

Alat dan Bahan
Alat-alat yang dipakai adalah buret 50 ml, lempeng tetes, pipet 10; 20; 25; 100 ml, erlenmeyer 250 ml, pipet Mohr 5 ml, kertas fenol red. Bahan-bahan yang digunakan adalah buffer pH 10, Erio T, NH4OH 4 M, CaCO3 0,01 M, ZnSO4 0,01 M, EDTA 0,01 M, contoh air keran, contoh Al3+, dan contoh belimbing.

Prosedur Percobaan
Pada standardisasi EDTA, sebanyak 100 ml larutan CaCO3 ditambah 0,5 ml larutan penahan pH 10, 2-3 tetes indikator Erio T, lalu dititrasi dengan EDTA sampai warna berubah dari merah ke biru. Jika dilakukan baik-baik, titik akhir tajam sekali dan dapat digunakan untuk mikrotitrasi yang memakai larutan EDTA yang encer sekali. Titrasi dilakukan enam kali.
Selanjutnya dilakukan penentuan kesadahan total air keran. Sebanyak 100 ml air keran diberi 2 ml buffer pH 10, 2-4 tetes Erio T, dan dititrasi (kalau ada endapan disaring). Perubahan warna dari merah ke biru. Titrasi dilakukan enam kali. Kesadahan total air keran dihitung dalam ppm. Untuk penentuan Ca2+ pada buah belimbing, sebanyak 10 gram belimbing dilumatkan diekstraksi dengan 90 ml air destilata, disaring, dan volume ekstrak ditepatkan menjadi 100 ml dalam labu takar. Sebanyak 25 ml ekstrak ditambah dengan 10 tetes NH4OH 4 M dan 2,5 ml buffer pH 10 dimasukkan ke dalam erlenmeyer 200 ml. Tambahkan indikator Erio T, kemudian dititrasi dengan EDTA 0,01 M sampai warna biru, volume titran dicatat. Penentuan dilakukan lima kali.

Data dan Hasil Pengamatan
Standardisasi EDTA
Tabel 1. Standardisasi EDTA

Ulangan Volume EDTA Volume CaCO3 (ml) Konsentrasi CaCO3 (M) Konsentrasi EDTA (M)
Volume Awal (ml) Volume Akhir (ml) Volume Terpakai (ml)
1 13,70 23,90 10,20 10,00 0,01 0,0098
2 10,70 20,80 10,10 10,00 0,01 0,0099
3 20,80 31,20 10,40 10,00 0,01 0,0096
4 31,20 41,70 10,50 10,00 0,01 0,0095
5 41,70 52,00 10,30 10,00 0,01 0,0097
6 3,50 13,70 10,20 10,00 0,01 0,0098
Rata-rata 0,0097
St. Dev 0,0001
Ketelitian 98,57%
Ketepatan 97,26%
Reaksi :
2Ca2+ + H3In → Ca2+ + CaIn-
H2Y= + Ca2+ → CaY= + 2H+
MgY- + CaIn → CaY= + MgIn
H2Y= + MgIn- → MgY= + H2In-
H2In- (pH 10) → HIn= (biru)
Indikator : Eriochrom Black T
Perubahan warna : merah → biru
Contoh perhitungan : (diambil contoh ulangan ke-1)
Menghitung konsentrasi EDTA standardisasi
(Vml x M) CaCO3= (Vml x M) EDTA
(10,00 ml x 0,0100 M) = (10,20 ml x M)EDTA
M EDTA = (10,00 ml x 0,0100 N)/(10,20 ml)
M EDTA = 0,0098 M
Jadi, konsentrasi EDTA untuk ulangan pertama adalah 0,0098 M.
Menghitung rata-rata konsentrasi EDTA
Rata-rata = (∑▒〖nilai konsentrasi EDTA setiap ulangan〗)/6
= (0,0098 M+0,0099 M+0,0096 M+0,0095 M+0,0097 M+0,0098 M)/6
= 0,0097 M
Jadi, rata-rata konsentrasi EDTA standardisasi dari 6 ulangan adalah 0,0097 M.
Menghitung standar deviasi
Sd M EDTA = √((∑▒(Mi-M ̅ )^2 )/(n-1))
= √(((0,00971-0,0097)^2+(0,0952-0,0097)^2+(0,0962-0,0097)^2+(0,0962-0,0097)^2+(0,0971-0,0097)^2+(0,0980-0,0097)^2)/(6-1))
= √(1,9236 ×〖10〗^(-8) ) = 0,0001
Jadi, standar deviasi konsentrasi EDTA standardisasi dari 6 ulangan adalah 0,0001.
Menghitung Ketelitian :
Ketelitian = [1- ((St.Dev)/(Rata-rata)) ] × 100 %
= [1- (0,0001/0,0097) ] × 100%
= 98,57%
- Menghitung Ketepatan
Ketepatan = [1-((M Label-M Percobaan)/(M Label)) ]×100%
= [1-((0,01 M-0,0097 M)/(0,01 M)) ]×100%
= 97,26%




Penentuan Kesadahan Total Air Keran
Tabel 2. Penentuan Kesadahan Total Air Keran
Ulangan Volume Air Keran (ml) Volume EDTA Konsentrasi EDTA (M) Kesadahan Total (mg/ liter)
Volume Awal (ml) Volume Akhir (ml) Volume terpakai (ml)
1 100,00 28,60 31,80 3,20 0,0097 31,0400
2 100,00 31,80 35,00 3,20 0,0097 31,0400
3 100,00 35,00 38,20 3,20 0,0097 31,0400
4 100,00 38,20 40,10 3,20 0,0097 31,0400
5 100,00 40,10 43,20 3,10 0,0097 30,0700
6 100,00 43,20 46,30 3,10 0,0097 30,0700
Rata-rata 30,7167
St.Deviasi 0,5009
Ketelitian 98,37%
Reaksi :
2Ca2+ + H3In → Ca2+ + CaIn
H2Y= + Ca2+ → CaY= + 2H+
MgY- + CaIn → CaY= + MgIn
H2Y= + MgIn- → MgY= + H2In-
H2In- (pH 10) → HIn= (biru)
Indikator : Eriochrom black T
Perubahan warna : merah → biru
Contoh perhitungan : (diambil contoh ulangan ke-1)
Menghitung kesadahan total air keran
(Vl x M) air keran = (Vml x M) EDTA x BM CaCO3
(0,1 l x M air) = (3,20 ml x 0,0097 M) EDTA x 100 mg/ mmol
M air keran = (3,20 ml x 0,0097 mmol/ ml×100 mg/ mmol)/(0,1 l)
M air keran = 31,0400 mg/ liter
Jadi, kesadahan total air keran adalah 31,0400 mg/ liter.
Menghitung rata-rata kesadahan total air keran

Rata-rata = (∑▒〖nilai kesadahan total air keransetiap ulangan〗)/6
= (31,0400 M+31,0400 M+31,0400 M+31,0400 M+30,0700 M+30,0700 M)/6
= 30,7167 mg/ liter
Jadi, rata-rata kesadahan total air keran dari 6 ulangan adalah 30,7167 mg/ liter.
Menghitung standar deviasi
Sd = √((∑▒(Mi-M ̅ )^2 )/(n-1))
= √(((31,0400-30,7167)^2+(31,0400-30,7167)^2+(31,0400-30,7167)^2+)/(6-1))
(〖(31,0400-30,7167)^2+(30,0700-30,7167)〗^2+(30,0700-30,7167)^2 ) ̅/
= √0,250907 = 0,5009
Jadi, standar deviasi kesadahan total air keran dari 6 ulangan adalah 0,5009.
Menghitung Ketelitian
Ketelitian =[1- ((st.dev)/(rata-rata)) ] × 100%
=[1- (0,5009/30,7167) ] × 100%
= 98,37%

Penentuan Ca2+ pada Buah Belimbing
Tabel 3. Penentuan Ca2+ pada Buah Belimbing
Ulangan Bobot contoh (gram) Volume EDTA Konsentrasi EDTA (M) Kadar Ca2+ pada Belimbing (% b/b)
Volume Awal (ml) Volume Akhir (ml) Volume Terpakai (ml)
1 10,0023 0 0,65 0,65 0,0097 0,0101
2 10,0023 0,70 1,40 0,70 0,0097 0,0109
3 10,0023 1,40 2,10 0,70 0,0097 0,0109
4 10,0791 2,10 3,30 1,20 0,0097 0,0185
5 10,0791 3,30 5,00 1,70 0,0097 0,0262
Rata-rata 0,0153
St.Dev 0,0070
Ketelitian 54,34%



Reaksi :
2Ca2+ + H3In → Ca2+ + CaIn
H2Y= + Ca2+ → CaY= + 2H+
MgY- + CaIn → CaY= + MgIn
H2Y= + MgIn- → MgY= + H2In-
H2In- (pH 10) → HIn-
Indikator : Eriochrom black T
Perubahan warna : kemerahan → hijau lumut
Contoh perhitungan : (diambil contoh ulangan ke-1)
Menghitung kadar Ca2+ pada Belimbing (% b/b)
Kadar Ca2+ = ((VM)EDTA × BA 〖 Ca〗^(2+) × FP )/(bobot contoh ) × 100%
=(( 0,00065 liter × 0,0097 mol/liter) × 40,08 g/ mol × (100 ml)/(25 ml))/(10,0023 g) × 100%
= (1,0105 x 10-4)%
Jadi, kadar Ca2+ pada belimbing adalah (1,0105 x 10-4)%.
Menghitung rata-rata kadar Ca2+ pada Belimbing
Rata-rata = (∑▒〖nilai kadar ion setiap ulangan〗)/(banyaknya ulangan)
= (0,0101%+0,0109%+0,0109%+0,0185%+0,0262%)/5
= 0,0153%
Jadi, rata-rata kadar Ca2+ pada belimbing adalah 0,0153%.
Menghitung standar deviasi
Sd Kadar Ca2+ = √((∑▒(Mi-M ̅ )^2 )/(n-1))
= √(((0,0101%-0,0153%))^2+(0,0109%-0,0153%))^2+(0,0109%-0,0153%)^2+〖(0,0185%-0,0153%)^2+(0,0262%-0,0153%)〗^2)/(5-1))
= √(4,8944×〖10〗^(-5) ) = 0,0070
Jadi, standar deviasi konsentrasi Ca2+ pada belimbing dari 5 ulangan adalah 6,9960 x 10-5.
Menghitung Ketelitian
Ketelitian =[1- ((st.dev)/(rata-rata)) ] × 100%
=[1- (0,0070/0,0153) ] × 100%
= 54,34%

Pembahasan
Titrasi kelatometri, seperti dijelaskan pada bagian pendahuluan, merupakan titrasi berdasarkan pembentukan ion kompleks antara bahan yang dianalisis dan titran. Pada percobaan ini, titran yang digunakan adalah EDTA. Hal yang pertama dilakukan adalah standardisasi EDTA. Hal ini disebabkan oleh EDTA sangat mudah larut dengan air sehingga akan mengandung jumlah air yang tidak tentu di dalamnya. Air yang terkandung dalam EDTA tersebut mengandung ion-ion logam polivalen yang dapat mempengaruhi konsentrasi EDTA (Harjadi 1993).
EDTA distandardisasi menggunakan larutan baku primer CaCO3 dan indikator Eriochrom Black T. Reaksi yang terjadi juga menghasilkan ion H+. Oleh sebab itu, standardisasi EDTA disertai dengan penambahan buffer pH 10, dimana reaksi akan lebih sempurna jika terjadi pada pH tinggi. Konsentrasi EDTA yang diperoleh dari hasil standardisasi adalah 0,0097 M dengan standar deviasi 0,0001. Hasil ini tidak terlalu berbeda jauh dari konsentrasi EDTA pada label, yaitu sebesar 0,01 M. Nilai ketelitian yang diperoleh dari percobaan standardisasi EDTA adalah 98,57%. Sedangkan nilai ketepatannya sebesar 97,26%. Hal ini menunjukkan bahwa percobaan standardisasi EDTA telah dilakukan secara baik dengan ketelitian dan ketepatan yang cukup tinggi, lebih dari 90%.
Percobaan berikutnya adalah penentuan kesadahan total air keran. Kesadahan total air keran disebabkan oleh keberadaan ion Ca2+ dan Mg2+, serta kontaminan ion lainnya pada air keran (Earle 2003). Pada percobaan ini, kesadahan total air keran dianggap hanya disebabkan oleh ion Ca2+. Kesadahan total air keran diperoleh dengan menghitung konsentrasi air keran dengan menitrasinya menggunakan EDTA yang telah distandardisasi sebelumnya dan indikator Eriochrom Black T. Penambahan buffer pH 10 selain menyempurnakan reaksi, juga berfungsi mengendapkan kation-kation lain yang juga dapat bereaksi dengan EDTA. Endapan yang terjadi disaring sebelum dilakukan titrasi. Kesadahan total air keran yang didapat sebesar 30,7167 mg/ liter dengan standar deviasi sebesar 0,5009. Hal ini berarti dalam 1 liter air keran, terdapat kontaminan ion Ca2+ sebanyak 30,7167 mg. Percobaan ini menunjukkan bahwa air keran merupakan air sadah. Ketelitian yang dihasilkan dari percobaan ini adalah 98,37% yang berarti percobaan telah dilakukan dengan baik dan teliti.
Percobaan berikutnya adalah menentukan konsentrasi Ca2+ pada buah belimbing. Ekstrak belimbing dititrasi dengan EDTA dan indikator Eriochrom Black T. Percobaan dilakukan sebanyak lima kali ulangan. Hasil yang diperoleh berupa kadar Ca2+ pada buah belimbing (% b/b) sebesar 0,0153% yang berarti bahwa setiap 1 gram buah belimbing mengandung Ca2+ sebanyak 0,0153 gram. Percobaan ini juga menunjukkan bahwa buah belimbing mengandung kalsium dengan jumlah yang sangat sedikit. Standar deviasi percobaan ini adalah 0,0070 dengan ketelitian sebesar 54,34%. Hal ini menunjukkan bahwa percobaan ini dilakukan dengan kurang teliti. Ketelitian yang kurang disebabkan oleh perubahan warna saat titrasi sulit ditentukan karena perubahan warna tidak terjadi secara mendadak.

Simpulan
Konsentrasi EDTA yang digunakan pada percobaan kelatometri ini adalah 0,0097 M dengan standar deviasi 0,0001 dan ketelitian sebesar 98,57%. EDTA ini kemudian digunakan untuk menentukan kesadahan total air keran yang diakibatkan oleh kontaminan ion Ca2+ dan Mg2+. Kesadahan total air keran yang didapat adalah 30,7167 mg/ liter dengan standar deviasi sebesar 0,5009 dan ketelitian 98,37%. Selain itu, juga ditentukan konsentrasi Ca2+ pada buah belimbing, yaitu sebesar 0,0153% dengan standar deviasi 0,0070 dan ketelitian sebesar 54,34%.

Daftar Pustaka
Basset J. dkk. 1994. Buku Ajar Vogel : Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Terjemahan A. Hadyana Pudjaatmaka dan L. Setiono. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.
Earle RL. 2003. Unit Operations in Food Processing. New Zealand: Palmerston North.
Harjadi W. 1993. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Khopkar SM. 2002. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Press.
Rival Harrizul. 1995. Asas Pemeriksaan Kimia. Jakarta: UI Press.

0 comments:

KRS IPB ONLINE

10:53:00 PM 0 Comments

KRS itu singkatan dari kartu rencana studi. Ini merupakan sistem online yg berfungsi memudahkan (atau malah nyusahin?!) mahasiswa buat milih matkul yg diambil secara online, jadi ga perlu dateng ke kampus pas liburan nih. :D
Apa aja yg musti dilakuin buat yg pertama kali make KRS??
Yang pertama, liat siapa dosen pembimbing akademik dulu di pengumuman tiap kantor departemen, terus liat nomor HPnya di kantor departemen itu, hubungin beliau dan sharing sama beliau tentang Minor atau SC yang mw dipilih.
Terus, lakuin yg namanya uji coba KRS. waktu taun gw, uji coba KRS penting bgggggt, karena kalo ada yg mw milih minor, minor yg udah dipilih pas uji coba ga akan berubah atau keapus pas KRSan beneran, jadi ga perlu repot2 berebutan minor lagi. Kalo buat yang SC mah sama aja, karna matkul yg udah dipilih pas uji coba bakal kosong lagi pas KRSan beneran.
Gimana caranya?
Cekidot gan,,
pertama, buka krs.ipb.ac.id, terus masukin username berupa NRP dan password berupa password cyber.
kedua, di kolom yg kiri, pilih menentukan minor buat yg mau ngambil minor. Inget, pilih minornya dulu sebelum ngelakuin yg laen
abis pilih minor, langsung lah ya, lanjut pilih pemilihan KRS di kolom kiri lagi. nah, masukin matkul2 yg sesuai ma semester sekarang, terus sesuaiin juga jadwalnya. kalo di jurusan gw, jadwal praktikum mah ga ngaruh, ntar bakal diacak2 lagi ama departemen tapi malah enak, karna bisa tuker2an ama temen kalo bentrok ma SC atau minor. Usahain pilih jadwal praktikum secara bijak, jangan sampe ga bisa ngambil SC atau minor gara2 jdwal praktikum yg bakal diubah lagi itu. cara ngambil SC gampang bgt, cuma tinggal klik tambah supporting course dan masukin kode matkul g kalian mw ambil.

setelah itu, lanjut pilih lihat KRS di kolom kiri lagi. Silahkan dicetak, disitu juga ada jumlah SPP yang musti dibayar sesuai ma banyaknya matkul yg diambil. kalo udah dicetak, bawa deh ke dosen PA dan minta ttd beliau, terus fotokopi dulu buat arsip. yang aslinya kasihin ke komdik, kalo didepartemen gw, namanya UPT, ada di deket2 korfat.
selesai deh milih KRSnya.
yang musti diperhatiin adalah pilih minor dulu kalo yg berminat ambil minor, karena kalo ga, matkul minor ga bakal masuk ke pilihan matkul yg ada di KRS. terus gimana kalo udah terlanjur? bakal berat banget perjuangannya! musti ngapus dulu semua matkul yg udah kepilih di KRS, biar bisa milih minor.
So, jangan salah langkah pas KRS pertama ya,
jgn lupa ikut ujicoba KRS, biar kita bisa tau jadwal yg tersedia gimana aja, jadi bisa nyusun jadwal biar ga bentrok ama SC atau pun minor.
Buat kebingungan di semester3 milih minor atau SC atau ga sama sekali, disarankan pilih aja 1matkul terserah mau minor atau SC, karena semester3 itu masih lebih santai.
Bakal lebih ribet lagi kalo disemester4 ngambil 2matkul minor atau SC buat nutupin semester3 yang belom ngambil minor atau SC karena semester4 dipenuhi laporan2 busuk.
Semangat buat calon Ahli Teknologi Pangan Indonesia!!!

0 comments:

Kelatometri

10:49:00 PM 0 Comments

Pendahuluan
Kelatometri adalah metode titrasi berdasarkan pembentukan senyawa kompleks (ion kompleks atau garam yang sukar mengion) (Khopkar 2002). Kelatometri merupakan bagian dari kompleksometri, jenis titrasi dimana titran dan titrat saling mengkompleks, membentuk hasil berupa kompleks. Reaksi - reaksi pembentukan kompleks atau yang menyangkut kompleks banyak sekali dan penerapannya juga banyak, tidak hanya dalam titrasi. Kompleks yang dimaksud di sini adalah kompleks yang dibentuk melalui reaksi ion logam, sebuah kation, dengan sebuah anion atau molekul netral (Basset 1994). Salah satu zat pembentuk kompleks yang banyak digunakan dalam titrasi kelatometri adalah garam dinatrium etilendiamina tetraasetat (dinatrium EDTA). EDTA merupakan salah satu jenis asam amina polikarboksilat berupa ligan seksidentat yang dapat berkoordinasi dengan suatu ion logam lewat kedua nitrogen dan keempat gugus karboksilnya atau disebut ligan multidentat yang mengandung lebih dari dua atom koordinasi per molekul (Rival 1995). Suatu EDTA dapat membentuk senyawa kompleks yang mantap dengan sejumlah besar ion logam sehingga EDTA merupakan ligan yang tidak selektif (Harjadi 1993).
Keunggulan EDTA antara lain mudah larut dalam air dan dapat diperoleh dalam keadaan murni. Namun, karena adanya sejumlah tidak tertentu air, sebaiknya EDTA distandardisasi dahulu misalnya dengan menggunakan larutan CaCO3 (Harjadi 1993). Sebagian besar titrasi kelatometri mempergunakan indikator yang juga bertindak sebagai pengompleks dan tentu saja kompleks logamnya mempunyai warna yang berbeda dengan pengompleksnya sendiri. Indikator demikian disebut indikator metalokromat, contohnya Eriochrome Black T, yang merupakan asam organik berbasa 3 dengan warna spesifik pada pH tertentu (Khopkar 2002). Aplikasi metode kelatometri ini adalah penentuan kesadahan total air keran dan kandungan Ca2+ pada buah belimbing. Kesadan total air biasanya diakibatkan oleh adanya kontaminan ion Ca2+ dan Mg2+ (Earle 2003). Dalam percobaan ini, kesadahan total air dianggap hanya disebabkan oleh kontaminan ion Ca2+ dan Mg2+ tanpa kontaminan lainnya.

Tujuan Percobaan
Percobaan ini bertujuan melatih mahasiswa melakukan analisis ion logam dengan titrasi kelatometri.

Alat dan Bahan
Alat-alat yang dipakai adalah buret 50 ml, lempeng tetes, pipet 10; 20; 25; 100 ml, erlenmeyer 250 ml, pipet Mohr 5 ml, kertas fenol red. Bahan-bahan yang digunakan adalah buffer pH 10, Erio T, NH4OH 4 M, CaCO3 0,01 M, ZnSO4 0,01 M, EDTA 0,01 M, contoh air keran, contoh Al3+, dan contoh belimbing.

Prosedur Percobaan
Pada standardisasi EDTA, sebanyak 100 ml larutan CaCO3 ditambah 0,5 ml larutan penahan pH 10, 2-3 tetes indikator Erio T, lalu dititrasi dengan EDTA sampai warna berubah dari merah ke biru. Jika dilakukan baik-baik, titik akhir tajam sekali dan dapat digunakan untuk mikrotitrasi yang memakai larutan EDTA yang encer sekali. Titrasi dilakukan enam kali.
Selanjutnya dilakukan penentuan kesadahan total air keran. Sebanyak 100 ml air keran diberi 2 ml buffer pH 10, 2-4 tetes Erio T, dan dititrasi (kalau ada endapan disaring). Perubahan warna dari merah ke biru. Titrasi dilakukan enam kali. Kesadahan total air keran dihitung dalam ppm. Untuk penentuan Ca2+ pada buah belimbing, sebanyak 10 gram belimbing dilumatkan diekstraksi dengan 90 ml air destilata, disaring, dan volume ekstrak ditepatkan menjadi 100 ml dalam labu takar. Sebanyak 25 ml ekstrak ditambah dengan 10 tetes NH4OH 4 M dan 2,5 ml buffer pH 10 dimasukkan ke dalam erlenmeyer 200 ml. Tambahkan indikator Erio T, kemudian dititrasi dengan EDTA 0,01 M sampai warna biru, volume titran dicatat. Penentuan dilakukan lima kali.

Data dan Hasil Pengamatan
Standardisasi EDTA
Tabel 1. Standardisasi EDTA

Ulangan Volume EDTA Volume CaCO3 (ml) Konsentrasi CaCO3 (M) Konsentrasi EDTA (M)
Volume Awal (ml) Volume Akhir (ml) Volume Terpakai (ml)
1 13,70 23,90 10,20 10,00 0,01 0,0098
2 10,70 20,80 10,10 10,00 0,01 0,0099
3 20,80 31,20 10,40 10,00 0,01 0,0096
4 31,20 41,70 10,50 10,00 0,01 0,0095
5 41,70 52,00 10,30 10,00 0,01 0,0097
6 3,50 13,70 10,20 10,00 0,01 0,0098
Rata-rata 0,0097
St. Dev 0,0001
Ketelitian 98,57%
Ketepatan 97,26%
Reaksi :
2Ca2+ + H3In → Ca2+ + CaIn-
H2Y= + Ca2+ → CaY= + 2H+
MgY- + CaIn → CaY= + MgIn
H2Y= + MgIn- → MgY= + H2In-
H2In- (pH 10) → HIn= (biru)
Indikator : Eriochrom Black T
Perubahan warna : merah → biru
Contoh perhitungan : (diambil contoh ulangan ke-1)
Menghitung konsentrasi EDTA standardisasi
(Vml x M) CaCO3= (Vml x M) EDTA
(10,00 ml x 0,0100 M) = (10,20 ml x M)EDTA
M EDTA = (10,00 ml x 0,0100 N)/(10,20 ml)
M EDTA = 0,0098 M
Jadi, konsentrasi EDTA untuk ulangan pertama adalah 0,0098 M.
Menghitung rata-rata konsentrasi EDTA
Rata-rata = (∑▒〖nilai konsentrasi EDTA setiap ulangan〗)/6
= (0,0098 M+0,0099 M+0,0096 M+0,0095 M+0,0097 M+0,0098 M)/6
= 0,0097 M
Jadi, rata-rata konsentrasi EDTA standardisasi dari 6 ulangan adalah 0,0097 M.
Menghitung standar deviasi
Sd M EDTA = √((∑▒(Mi-M ̅ )^2 )/(n-1))
= √(((0,00971-0,0097)^2+(0,0952-0,0097)^2+(0,0962-0,0097)^2+(0,0962-0,0097)^2+(0,0971-0,0097)^2+(0,0980-0,0097)^2)/(6-1))
= √(1,9236 ×〖10〗^(-8) ) = 0,0001
Jadi, standar deviasi konsentrasi EDTA standardisasi dari 6 ulangan adalah 0,0001.
Menghitung Ketelitian :
Ketelitian = [1- ((St.Dev)/(Rata-rata)) ] × 100 %
= [1- (0,0001/0,0097) ] × 100%
= 98,57%
- Menghitung Ketepatan
Ketepatan = [1-((M Label-M Percobaan)/(M Label)) ]×100%
= [1-((0,01 M-0,0097 M)/(0,01 M)) ]×100%
= 97,26%




Penentuan Kesadahan Total Air Keran
Tabel 2. Penentuan Kesadahan Total Air Keran
Ulangan Volume Air Keran (ml) Volume EDTA Konsentrasi EDTA (M) Kesadahan Total (mg/ liter)
Volume Awal (ml) Volume Akhir (ml) Volume terpakai (ml)
1 100,00 28,60 31,80 3,20 0,0097 31,0400
2 100,00 31,80 35,00 3,20 0,0097 31,0400
3 100,00 35,00 38,20 3,20 0,0097 31,0400
4 100,00 38,20 40,10 3,20 0,0097 31,0400
5 100,00 40,10 43,20 3,10 0,0097 30,0700
6 100,00 43,20 46,30 3,10 0,0097 30,0700
Rata-rata 30,7167
St.Deviasi 0,5009
Ketelitian 98,37%
Reaksi :
2Ca2+ + H3In → Ca2+ + CaIn
H2Y= + Ca2+ → CaY= + 2H+
MgY- + CaIn → CaY= + MgIn
H2Y= + MgIn- → MgY= + H2In-
H2In- (pH 10) → HIn= (biru)
Indikator : Eriochrom black T
Perubahan warna : merah → biru
Contoh perhitungan : (diambil contoh ulangan ke-1)
Menghitung kesadahan total air keran
(Vl x M) air keran = (Vml x M) EDTA x BM CaCO3
(0,1 l x M air) = (3,20 ml x 0,0097 M) EDTA x 100 mg/ mmol
M air keran = (3,20 ml x 0,0097 mmol/ ml×100 mg/ mmol)/(0,1 l)
M air keran = 31,0400 mg/ liter
Jadi, kesadahan total air keran adalah 31,0400 mg/ liter.
Menghitung rata-rata kesadahan total air keran

Rata-rata = (∑▒〖nilai kesadahan total air keransetiap ulangan〗)/6
= (31,0400 M+31,0400 M+31,0400 M+31,0400 M+30,0700 M+30,0700 M)/6
= 30,7167 mg/ liter
Jadi, rata-rata kesadahan total air keran dari 6 ulangan adalah 30,7167 mg/ liter.
Menghitung standar deviasi
Sd = √((∑▒(Mi-M ̅ )^2 )/(n-1))
= √(((31,0400-30,7167)^2+(31,0400-30,7167)^2+(31,0400-30,7167)^2+)/(6-1))
(〖(31,0400-30,7167)^2+(30,0700-30,7167)〗^2+(30,0700-30,7167)^2 ) ̅/
= √0,250907 = 0,5009
Jadi, standar deviasi kesadahan total air keran dari 6 ulangan adalah 0,5009.
Menghitung Ketelitian
Ketelitian =[1- ((st.dev)/(rata-rata)) ] × 100%
=[1- (0,5009/30,7167) ] × 100%
= 98,37%

Penentuan Ca2+ pada Buah Belimbing
Tabel 3. Penentuan Ca2+ pada Buah Belimbing
Ulangan Bobot contoh (gram) Volume EDTA Konsentrasi EDTA (M) Kadar Ca2+ pada Belimbing (% b/b)
Volume Awal (ml) Volume Akhir (ml) Volume Terpakai (ml)
1 10,0023 0 0,65 0,65 0,0097 0,0101
2 10,0023 0,70 1,40 0,70 0,0097 0,0109
3 10,0023 1,40 2,10 0,70 0,0097 0,0109
4 10,0791 2,10 3,30 1,20 0,0097 0,0185
5 10,0791 3,30 5,00 1,70 0,0097 0,0262
Rata-rata 0,0153
St.Dev 0,0070
Ketelitian 54,34%



Reaksi :
2Ca2+ + H3In → Ca2+ + CaIn
H2Y= + Ca2+ → CaY= + 2H+
MgY- + CaIn → CaY= + MgIn
H2Y= + MgIn- → MgY= + H2In-
H2In- (pH 10) → HIn-
Indikator : Eriochrom black T
Perubahan warna : kemerahan → hijau lumut
Contoh perhitungan : (diambil contoh ulangan ke-1)
Menghitung kadar Ca2+ pada Belimbing (% b/b)
Kadar Ca2+ = ((VM)EDTA × BA 〖 Ca〗^(2+) × FP )/(bobot contoh ) × 100%
=(( 0,00065 liter × 0,0097 mol/liter) × 40,08 g/ mol × (100 ml)/(25 ml))/(10,0023 g) × 100%
= (1,0105 x 10-4)%
Jadi, kadar Ca2+ pada belimbing adalah (1,0105 x 10-4)%.
Menghitung rata-rata kadar Ca2+ pada Belimbing
Rata-rata = (∑▒〖nilai kadar ion setiap ulangan〗)/(banyaknya ulangan)
= (0,0101%+0,0109%+0,0109%+0,0185%+0,0262%)/5
= 0,0153%
Jadi, rata-rata kadar Ca2+ pada belimbing adalah 0,0153%.
Menghitung standar deviasi
Sd Kadar Ca2+ = √((∑▒(Mi-M ̅ )^2 )/(n-1))
= √(((0,0101%-0,0153%))^2+(0,0109%-0,0153%))^2+(0,0109%-0,0153%)^2+〖(0,0185%-0,0153%)^2+(0,0262%-0,0153%)〗^2)/(5-1))
= √(4,8944×〖10〗^(-5) ) = 0,0070
Jadi, standar deviasi konsentrasi Ca2+ pada belimbing dari 5 ulangan adalah 6,9960 x 10-5.
Menghitung Ketelitian
Ketelitian =[1- ((st.dev)/(rata-rata)) ] × 100%
=[1- (0,0070/0,0153) ] × 100%
= 54,34%

Pembahasan
Titrasi kelatometri, seperti dijelaskan pada bagian pendahuluan, merupakan titrasi berdasarkan pembentukan ion kompleks antara bahan yang dianalisis dan titran. Pada percobaan ini, titran yang digunakan adalah EDTA. Hal yang pertama dilakukan adalah standardisasi EDTA. Hal ini disebabkan oleh EDTA sangat mudah larut dengan air sehingga akan mengandung jumlah air yang tidak tentu di dalamnya. Air yang terkandung dalam EDTA tersebut mengandung ion-ion logam polivalen yang dapat mempengaruhi konsentrasi EDTA (Harjadi 1993).
EDTA distandardisasi menggunakan larutan baku primer CaCO3 dan indikator Eriochrom Black T. Reaksi yang terjadi juga menghasilkan ion H+. Oleh sebab itu, standardisasi EDTA disertai dengan penambahan buffer pH 10, dimana reaksi akan lebih sempurna jika terjadi pada pH tinggi. Konsentrasi EDTA yang diperoleh dari hasil standardisasi adalah 0,0097 M dengan standar deviasi 0,0001. Hasil ini tidak terlalu berbeda jauh dari konsentrasi EDTA pada label, yaitu sebesar 0,01 M. Nilai ketelitian yang diperoleh dari percobaan standardisasi EDTA adalah 98,57%. Sedangkan nilai ketepatannya sebesar 97,26%. Hal ini menunjukkan bahwa percobaan standardisasi EDTA telah dilakukan secara baik dengan ketelitian dan ketepatan yang cukup tinggi, lebih dari 90%.
Percobaan berikutnya adalah penentuan kesadahan total air keran. Kesadahan total air keran disebabkan oleh keberadaan ion Ca2+ dan Mg2+, serta kontaminan ion lainnya pada air keran (Earle 2003). Pada percobaan ini, kesadahan total air keran dianggap hanya disebabkan oleh ion Ca2+. Kesadahan total air keran diperoleh dengan menghitung konsentrasi air keran dengan menitrasinya menggunakan EDTA yang telah distandardisasi sebelumnya dan indikator Eriochrom Black T. Penambahan buffer pH 10 selain menyempurnakan reaksi, juga berfungsi mengendapkan kation-kation lain yang juga dapat bereaksi dengan EDTA. Endapan yang terjadi disaring sebelum dilakukan titrasi. Kesadahan total air keran yang didapat sebesar 30,7167 mg/ liter dengan standar deviasi sebesar 0,5009. Hal ini berarti dalam 1 liter air keran, terdapat kontaminan ion Ca2+ sebanyak 30,7167 mg. Percobaan ini menunjukkan bahwa air keran merupakan air sadah. Ketelitian yang dihasilkan dari percobaan ini adalah 98,37% yang berarti percobaan telah dilakukan dengan baik dan teliti.
Percobaan berikutnya adalah menentukan konsentrasi Ca2+ pada buah belimbing. Ekstrak belimbing dititrasi dengan EDTA dan indikator Eriochrom Black T. Percobaan dilakukan sebanyak lima kali ulangan. Hasil yang diperoleh berupa kadar Ca2+ pada buah belimbing (% b/b) sebesar 0,0153% yang berarti bahwa setiap 1 gram buah belimbing mengandung Ca2+ sebanyak 0,0153 gram. Percobaan ini juga menunjukkan bahwa buah belimbing mengandung kalsium dengan jumlah yang sangat sedikit. Standar deviasi percobaan ini adalah 0,0070 dengan ketelitian sebesar 54,34%. Hal ini menunjukkan bahwa percobaan ini dilakukan dengan kurang teliti. Ketelitian yang kurang disebabkan oleh perubahan warna saat titrasi sulit ditentukan karena perubahan warna tidak terjadi secara mendadak.

Simpulan
Konsentrasi EDTA yang digunakan pada percobaan kelatometri ini adalah 0,0097 M dengan standar deviasi 0,0001 dan ketelitian sebesar 98,57%. EDTA ini kemudian digunakan untuk menentukan kesadahan total air keran yang diakibatkan oleh kontaminan ion Ca2+ dan Mg2+. Kesadahan total air keran yang didapat adalah 30,7167 mg/ liter dengan standar deviasi sebesar 0,5009 dan ketelitian 98,37%. Selain itu, juga ditentukan konsentrasi Ca2+ pada buah belimbing, yaitu sebesar 0,0153% dengan standar deviasi 0,0070 dan ketelitian sebesar 54,34%.

Daftar Pustaka
Basset J. dkk. 1994. Buku Ajar Vogel : Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Terjemahan A. Hadyana Pudjaatmaka dan L. Setiono. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.
Earle RL. 2003. Unit Operations in Food Processing. New Zealand: Palmerston North.
Harjadi W. 1993. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Khopkar SM. 2002. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Press.
Rival Harrizul. 1995. Asas Pemeriksaan Kimia. Jakarta: UI Press.

0 comments:

KROMATOGRAFI KERTAS DAN KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS

10:39:00 PM 1 Comments


Pendahuluan
Kromatografi adalah teknik pemisahan campuran didasarkan atas perbedaan distribusi dari komponen-komponen campuran tersebut diantara dua fase, yaitu fase diam (padat atau cair) dan fase gerak (cair atau gas) (Patnaik 2004). Teknik pemisahan ini memanfaatkan interaksi komponen dengan fase diam dan fase gerak serta sifat fisik dan sifat kimia komponen. Berdasarkan fase gerak dan fase diam yang digunakan, kromatografi dibedakan menjadi liquid-solid chromatography (kromatografi dengan fase diam berwujud padat dan fase gerak berwujud cair), gas-solid chromatography (kromatografi dengan fase diam berwujud padat dan fase gerak berwujud gas), liquid-liquid chromatography (kromatografi dengan fase diam berwujud cair dan fase gerak berwujud cair), dan gas-liquid chromatography (kromatografi dengan fase diam berwujud padat dan fase gerak berwujud gas) (Harvey 2000).
Berdasarkan interaksi komponen dengan fase diam dan fase gerak, kromatografi dibedakan menjadi kromatografi adsorpsi (kromatografi dengan teknik penyerapan komponen oleh adsorben tertentu), kromatografi partisi (kromatografi dengan partisi terjadi antara fase gerak dan fase diam), kromatografi pertukaran ion (kromatografi yang dapat memisahkan senyawa dengan afinitas ion yang berbeda dengan resin penukar ion), dan kromatografi permeasi atau filtrasi (kromatografi berdasarkan perbedaan bobot molekul) (Skoog et al 2002). Berdasarkan bentuk ruang penyangganya, kromatografi dibedakan menjadi kromatografi planar (kromatografi dengan fase diam terletak pada permukaan datar) yang meliputi kromatografi kertas dan kromatografi lapis tipis serta kromatografi kolom (kromatografi dengan fase diam tertahan pada sebuah kolom) yang meliputi kromatografi manual, high performance liquid chromatography, dan kromatografi gas (Harvey 2000). Percobaan ini hanya melakukan aplikasi kromatografi kertas dan kromatografi lapis tipis. Prinsip dari kedua aplikasi tersebut adalah dengan meneteskan sampel pada kertas di garis startnya berulang-ulang. Setelah kering, kertas dimasukkan dalam pelarut jenuh dan dibiarkan bergerak menuju garis finish. Kromatografi lapis tipis menggunakan lempeng tipis/ plastik yang dilapisi adsorben sebagai penyangga. Kromatografi kertas menggunakan kertas sebagai penyangga (Rouessac 2007).
Tujuan Percobaan
Percobaan ini bertujuan melatih penggunaan analisis kualitatif dengan metode kromatografi lapis tipis (Thin Layer Chromatography) pada klorofil daun dan menentukan susunan logam pada uang logam Rp 100 berwarna kuning dan putih.
Alat dan Bahan
Alat-alat yang dipakai adalah botol eluen, botol semprot, cawan petri, corong, corong pisah, gelas ukur 50 ml, kaca obyek, kertas saring, kertas kromatografi, lempeng porselin, pipet kapiler, dan tabung reaksi.. Bahan-bahan yang digunakan adalah aseton, NH4OH, Na2SO3 kering, petroleum eter, CuSO4 0,1 M, HCl pekat, NiSO4, klip plastik, dan uang logam Rp 100 warna kuning dan putih.
Prosedur Percobaan
Percobaan kromatografi lapis tipis klorofil daun diawali dengan pembuatan ekstrak daun. Daun diiris halus, diambil sebanyak 1 gram, dimasukkan dalam mortar, ditambahkan sedikit pasir kuarsa, dan digerus selama 10 detik. Daun dipindahkan ke dalam tabung reaksi bertutup dan ditambahkan 4 ml aseton, ditutup, dan dikocok selama 10 detik. Campuran dibiarkan selama 10 menit. Ditambhan 6- 7 ml air dan dikocok. Petroleum eter 3 ml ditambahkan, dikocok, dan dipisahkan dengan sentrifus. Lapisan yang berwarna hijau dipipet ke dalam tabung reaksi dan dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrat selama 15 menit. Larutan yang telah dikeringkan dituang ke dalam pinggan petri, diuapkan sebentar supaya lebih pekat. Larutan yang telah pekat dituang ke dalam tabung reaksi, lalu ditutup rapat. Larutan tersebut siap untuk dianalisis dengan metode kromatografi.
Pada percobaan kali ini, pembuatan lapisan TLC tidak dilakukan karena lapisan TLC sudah tersedia. Selanjutnya pembuatan kromatogram dilakukan dengan eluen (campuran aseton dan PE (1: 9)). Sedikit ekstrak daun diteteskan dengan pipa kapiler di atas lapisan TLC pada jarak 1 cm dari tepi kaca bagian bawah. Pelarut dibiarkan mengering. Lapisan TLC dimasukkan ke dalam botol yang berisi eluen dengan bagian yang ditetesi berada di bawah. Setelah cairan eluen naik sampai hampir di ujung lapisan TLC, maka lapisan TLC dikeringkan di udara. Komponen warna yang terpisah dicatat. Setelah kering, lapisan TLC dimasukkan dalam alat pemancar ultraviolet untuk membuat komponen pada lapisan TLC menjadi jelas. Komponen yang nampak dihitung nilai Rfnya dengan rumus .
Pemisahan susunan logam pada uang logam diawali dengan uang logam dicuci dengan sabun dan disikat, kemudian dibilas dengan akuades. Uang logam tersebut diberi setetes HCl pekat dan ditunggu beberapa menit. Dari tetesan ini, dibuat spot uang logam, spot CuSO4, spot HCl pekat, spot NiSO4, jarak start-front, dan jarak dari tepi kertas bawah pada kertas kromatografi. Kertas digulung dengan klip plastik dan dimasukkan ke dalam toples yang berisi pelarut. Kertas dimasukkan ke dalam botol dengan garis start di bagian bawah. Pelarut dibiarkan naik sampai mendekati garis front. Kertas diangkat dan dikeringkan. Untuk menampakkan warna spot, kertas disemprot dengan NH4OH pekat. Dicatat warna dan jarak spotnya dari garis start. Dihitung nilai Rf masing-masing spot.
Pembahasan
Pada percobaan ini, dilakukan analisis terhadap klorofil atau pigmen hijau yang ada pada daun dengan metode kromatografi lapis tipis atau thin layer chromatography (TLC). Selain itu, juga dilakukan analisis terhadap komponen logam yang terkandung dalam uang logam 100 rupiah berwarna kuning dan berwarna putih dengan metode kromatografi kertas. Pada percobaan TLC, daun diiris halus lalu digerus dengan sedikit pasir kuarsa agar mempercepat halusnya daun yang digerus. Daun yang telah halus ditambahkan aseton yang berfungsi untuk mengekstrak klorofil daun karena aseton bersifat nonpolar dan klorofil juga bersifat non polar sehingga dapat terekstrak. Setelah disentrifusa, ekstrak ditambahkan dengan Na2SO4 anhidrat untuk mengikat air yang masih terkandung di dalam ekstrak sehingga ekstrak klorofil murni mudah diambil. Fase diam pada percobaan ini adalah lapisan pelarut yang teradsorbsi pada permukaan adsorben berupa lapisan tipis (thin layer) dan fase geraknya adalah bagian dari pelarut yang berfungsi menggerakkan eluen berupa aseton dan PE.
Volume eluen aseton dan PE digunakan dalam perbandingan yang beragam. Perbandingan volume eluen aseton dan PE yang beragam digunakan untuk menentukan perbandingan volume eluen yang paling baik untuk kromatografi lapis tipis pada klorofil. Pada perbandingan eluen aseton:PE = 1:9, dihasilkan dua spot dengan Rf masing-masing sebesar 0,1852 dan 0,3704. Pada perbandingan eluen aseton:PE = 9:1, dihasilkan satu spot dengan Rf sebesar 0,9390. Dan pada perbandingan eluen aseton:PE = 5:5, dihasilkan dua spot dengan Rf masing-masing sebesar 0,8987 dan 0,9620. Nilai Rf tersebut menunjukkan bahwa pelarut terbaik digunakan pada perbandingan 5:5 karena jumlah spot pemisahan yang banyak dan nilai Rf yang mendekati satu. Hal ini berarti jarak spot dari garis start hampir sama dengan jarak batas eluen dari garis start. Pendeteksian letak spot lebih mudah dilakukan dengan menggunakan penyinaran sinar ultra violet. Terdapat dua penjang gelombang yang digunakan, yaitu 366 nm dan 254 nm. Panjang gelombang efektif yang digunakan kemudian adalah 366 nm karena spot yang terlihat lebih banyak dan jelas.
Pada percobaan kromatografi kertas, uang logam warna kuning dan putih dicuci dan disikat, kemudian ditambahkan tetesan HCl pekat sebagai pelarut pemisah komponen uang logam. Selanjutnya spot dari tetesan tersebut dirunning bersama dengan spot HCl pekat, NiSO4, dan CuSO4. Fase diam pada percobaan ini adalah lapisan pelarut yang teradsorbsi pada permukaan kertas berupa kertas kromatografi dan fase geraknya adalah bagian dari pelarut yang berfungsi menggerakkan eluen berupa campuran n-butanol, asam asetat glasial, dan air (untuk uang logam putih) dan campuran n-butanol, etanol, dan amoniak 2M (untuk uang logam kuning). Pada percobaan ini, kromatografi kertas dilakukan secara ascending dimana pelarut yang terdapat di bawah akan bergerak ke atas pada kertas yang tercelup didalamnya. Penjenuhan dengan uap pelarut bertujuan untuk mempercepat terjadinya elusi atau pergerakan komponen-komponen sampel pada media kertas kromatografi.
Pada uang logam warna kuning, spot dari uang logam tersebut memiliki Rf sebesar 0,1068 dan spot dari NiSO4 memiliki Rf sebesar 0,1792. Namun, spot dari CuSO4 tidak bermigrasi secara berarti dan spot dari HCl pekat tidak terlihat. Berdasarkan literatur, spot uang logam warna kuning memiliki Rf yang sama dengan spot dari CuSO4 karena uang logam warna kuning tersebut mengandung tembaga (Nurcahyo 2007). Pada uang logam warna putih, tidak terbentuk spot dari uang logam tersebut dan HCl pekat, sedangkan spot dari NiSO4 menunjukkan Rf sebesar 0,1456 dan spot dari CuSO4 menunjukkan Rf sebesar 0,0500. Tidak terbentuknya spot dari uang logam warna putih disebabkan oleh eluen yang digunakan kurang jenuh. Berdasarkan literatur, spot uang logam warna putih tidak memiliki Rf yang sama dengan spot dari CuSO4 dan NiSO4 karena uang logam warna putih tersebut mengandung alumunium (Nurcahyo 2007).
Perbedaan antara hasil percobaan dengan literatur menunjukkan masih terdapat kesalahan yang dilakukan dalam percobaan ini, antara lain kertas kromatografi tidak bersih dan dipegang dengan tangan, kesulitan dalam pengukuran jarak saat penyinaran dengan ultra violet, eluen yang digunakan kurang jenuh, dan uang yang digunakan sudah terkontaminasi zat lainnya.
Simpulan
Kromatografi lapis tipis dapat digunakan untuk pemisahan komponen klorofil. Data percobaan menunjukkan bahwa perbandingan pelarut aseton:PE yang digunakan adalah 5:5 dengan Rf tertinggi sebesar 0,9620. Panjang gelombang ultra violet yang paling baik digunakan untuk mendeteksi keberadaan spot komponen klorofil adalah 366 nm. Kromatografi kertas digunakan untuk menentukan komponen yang terkandung dalam uang logam warna kuning dan putih. Uang logam warna kuning seharusnya mengandung tembaga dan uang logam warna putih seharusnya mengandung alumunium.
Daftar Pustaka
Harvey D. 2000. Modern Analytical Chemistry. New York: McGraw-Hill Comp.
Nurcahyo Priyadi. 2007. Nilai Mata Uang Logam. http://priyadi.net/archives/2007/04/27/nilai-mata-uang-logam/. (13 Mei 2010)
Patnaik Pradyot. 2004. Dean’s Analytical Chemistry Handbook. Second Edition. New York: McGraw-Hill Comp.
Rouessac Francis, Annick Rouessac. 2007. Chemical Analysis: Modern Instrumentation Methods and Techniques. Second Edition. West Sussex: John Wiley & Sons, Ltd.
Skoog Douglas et al. 2002. Fundamentals of Analytical Chemistry. Eight Edition. Canada: Thomson Learning.

1 comments: