Proses Termal dan Refrigerasi

9:58:00 AM 2 Comments

1.      Menurut kalian, tepatkah bila ikan sarden yang akan dikalengkan diproses secara pasteurisasi? Jelaskan beserta alasan dan hubungkan dengan aspek mirobiologi, pengolahan, dan sensorinya!
Pasteurisasi merupakan proses termal dalam industri makanan kalengan yang berfungsi mematikan seluruh mikroba vegetatif yang bersifat patogen dan mampu mengakibatkan perubahan pada bahan pangan yang dikalengkan dengan suhu di bawah titik didih air atau di bawah suhu sterilisasi. Namun, pasteurisasi tidak membunuh mikroba dalam bentuk spora atau pun mikroba yang bersifat non-patogen terhadap manusia (Smith dan Hui, 2004). Kilinc dan Cakli (2004) mengemukakan bahwa terdapat perbedaan nyata kadar air dan kandungan protein antara sarden yang dipasteurisasi dan sarden yang tidak dipasteurisasi. Selain itu, tidak terdapat perbedaan nyata kadar abu dan kandungan lemak antara sarden yang dipasteurisasi dan sarden yang tidak dipasteurisasi. Kemudian, tidak ada perbedaan nyata antara kualitas antara sarden yang dipasteurisasi dan kualitas sarden yang tidak dipasteurisasi selama 6 bulan. Namun, terdapat perbedaan nyata pertumbuhan mikroba selama 6 bulan antara sarden yang dipasteurisasi dan sarden yang tidak dipasteurisasi, dimana pertumbuhan mikroba lebih sedikit pada sarden yang dipasteurisasi (Aksu et al., 1997).
Selama penyimpanan produk pasteurisasi, formaldehida dan dimetilamin terbentuk karena degradasi trimetilamin oksida oleh trimetilamin oksidase (Aubourg, 1998). Molekul yang terbentuk sangat reaktif untuk berikatan dengan protein sehingga terjadi degradasi protein secara natural dan penurunan kualitas sarden (Orlick, Oechlenschlager, dan Schreiber, 1991). Tidak terdapat perbedaan nyata asam lemak bebas dan total antara kedua produk. pH dari kedua produk juga sama-sama meningkat. Hal ini terjadi karena terbentuknya amonia dari deaminasi asam amino (ICMSF, 1978). Secara mikrobiologi, Angka Paling Memungkinkan (APM) dan jumlah bakteri asam laktat pada sarden yang dipasteurisasi jauh lebih rendah dibandingkan sarden yang tidak dipasteurisasi. Tetapi, pada akhir penyimpanan selama 6 bulan, sarden yang dipasteurisasi dan sarden yang tidak dipasteurisasi sudah tidak layak dikonsumsi berdasarkan analisis sensorinya. Di Indonesia, nilai F yang digunakan pada pasteurisasi sarden kalengan sangat beraneka ragam dan umumnya terlalu berlebihan sehingga mengakibatkan overcook dan mutu produk menurun. Di sisi lain, nilai F yang digunakan pada sterilisasi sarden kalengan sudah dalam kategori mencukupi (ITP, 2006). Jadi, dapat dikatakan bahwa proses ikan sarden yang akan dikalengkan secara pasteurisasi merupakan cara yang kurang tepat.

2.      Apakah exhauster yang kita gunakan untuk menghilangkan headspace di pengalengan cukup efektif? Jelaskan alasan dan berikan solusi jika tidak efektif!
Exhauster yang digunakan di pilot plan tergolong kurang efektif. Dari sisi kelayakan penggunaan alat, keran suplai uap panas dari boiler menuju exhauster sangat tidak efektif karena keran akan menjadi panas ketika uap panas sudah tersalur dan merepotkan praktikan untuk menghentikan suplai uap panas. Selain itu, sistem manual yang digunakan dari exhauster menuju double seamer menjadikan proses ini kurang efektif karena waktu untuk transportasi satu kaleng dari exhauster ke double seamer dengan kaleng lainnya berbeda-beda. Hal ini disebabkan pemindahan tersebut harus menggunakan cara manual (menggunakan tangan) dengan kendala utama berupa panas dari uap exhauster tersebut.
Seharusnya, dibuat suatu sistem kontinyu antara exhauster dan double seamer dimana conveyor dari exhauster juga berhubungan sampai ke akhir proses double seamer, sehingga waktu transportasi antara exhauster dan double seamer menjadi konstan. 

3.      Buncis yang dikalengkan menjadi berbau langu dan berwarna pucat. Bagaimana cara menghilangkan bau dan mempertahankan warnanya? Jelaskan beserta landasan teorinya!
Dalam proses pengalengan, faktor jenis bahan pangan yang akan diproses sangat memegang penting, khususnya dalam mempengaruhi ketahanan panas bakteri. Salah satu faktor tersebut adalah pH dari bahan pangan. Umumnya, sel atau spora paling tahan pada substrat yang berada pada pH dekat netral. Buncis memiliki pH 5,2 – 6,8 (di atas 4,5) yang berarti buncis termasuk bahan pangan berasam rendah dimana sel atau spora berada pada tingkat paling tahan panas (Morgan, 2001). Golongan bakteri yang paling penting untuk diperhatikan adalah spora termofilik dan spora mesofilik (termasuk Clostridium botulinum). Hal ini berarti buncis bisa disterilisasi dengan proses High Temperature Short Time (HTST).
Proses ini tentu saja harus mempertahankan zat nutrisi dan faktor mutu bahan pangan semaksimum mungkin (Muchtadi, 2008). Zat nutrisi dan faktor mutu, seperti vitamin, warna, tekstur, citarasa, dan juga enzim, jauh lebih tahan panas daripada sel vegetatif maupun spora (Fellow, 2002). Hal ini menguntungkan karena kalau tidak demikian setiap proses termal yang dilakukan tidak bermanfaat sama sekali. Namun, zat nutrisi dan faktor mutu menunjukkan ketergantungan terhadap suhu yang berbeda nyata. Sedangkan enzim memiliki ketergantungan suhu yang jauh lebih lebar. Berdasarkan hal ini, optimasi proses retorting dapat dijalankan dengan adanya sortasi dan grading pada buncis yang akan digunakan. Buncis yang dipilih tidak terlalu matang. Namun, buncis yang tidak terlalu matang juga akan mengalami pematangan karena adanya aktivitas enzim. Oleh karena itu, buncis juga harus mengalami proses blanching untuk inaktivasi enzim dengan panas. Jika enzim tidak diinaktivasi, akan terjadi perubahan citarasa, warna, tekstur, dan sifat sensori lain. Setelah itu, buncis juga harus direndam dalam larutan NaOH 4,5% dalam air mendidih selama 1-1,5 menit dan dicuci sampai bersih menggunakan air mengalir. Perendaman dengan larutan garam akan sedikit mengurangi kecepatan mencairnya air dalam buncis. Selain itu, larutan garam juga berfungsi mempertahankan warna, flavor, dan mencegah oksidasi pada zat mutu buncis (Muchtadi, 2008).

4.      Bila dalam suatu alat pendingin tidak memiliki katup ekspansi, apakah proses refrigerasi dapat dijalankan? Jelaskan kondisi yang terjadi pada refrigerannya!
Proses refrigerasi tidak dapat berjalan. Evaporator berfungsi sebagai pengambil panas yang terdapat dalam ruangan yang akan didinginkan. Di dalam evaporator, terjadi perubahan wujud refrigeran dari cairan menjadi uap. Proses perubahan wujud refrigeran ini memerlukan energi yang sangat besar yang diambil dari lingkungan dalam ruang refrigerator. Ketika proses penguapan refrigeran terjadi, panas dari bahan pangan yang ada di dalam ruang refrigerator akan diambil. Selanjutnya, kompresor bekerja untuk meningkatkan suhu dan tekanan dari refrigeran setelah keluar dari evaporator. Melalui proses kompresi (penekanan), suhu refrigeran dapat ditingkatkan sehingga melebihi suhu di sekelilingnya. Setelah itu, kondenser berperan sebagai “pembuang” atau memindahkan panas dari bahan ke lingkungan. Suhu dan tekanan dalam kondenser meningkat, sehingga refrigeran akan melepaskan energi dalamnya ke lingkungan, dan mengalami kondensasi (mengembun). Panas dari refrigeran akan dipindahkan ke medium lain seperti air atau udara (Muchtadi, 2008).
Seharusnya, selanjutnya katup ekspansi bekerja dalam mengendalikan laju alir refrigeran sehingga suplai refrigeran konstan. Katup ekspansi memisahkan antara saluran yang bertekanan tinggi dan saluran bertekanan rendah. Saluran antara kompresor dan katup ekspansi yang melalui kondenser memiliki tekanan yang tinggi. Sebaliknya, di dalam saluran antara kompresor dan katup ekspansi yang melalui evaporator memiliki tekanan rendah. Perbedaan tekanan ini akan menyebabkan refrigeran yang berbentuk cair pada tekanan tinggi akan sangat mudah menguap pada bagian evaporator. Keadaan mudah menguap tersebut dimanfaatkan untuk mengambil panas dari lingkungan di dalam evaporator. Jika katup ekspansi tersebut tidak ada, suplai refrigeran menjadi tidak konstan, mungkin juga terjadi kebocoran refrigeran yang masih berbentuk cair. Evaporator juga tidak akan bekerja dengan baik karena tidak adanya perbedaan tekanan sehingga refrigeran tidak dapat menguap dan pengambilan panas dari lingkungan akan tidak terkontrol.

5.      Jelaskan mengapa pembuatan susu bubuk menggunakan spray drier! Bandingkan bila menggunakan pengering lain seperti drum drier, freeze drier,  dan tray drier!
Pengeringan dengan spray drier merupakan proses pengeringan dimana droplet dari larutan dikeringkan secara cepat seiring dengan kontak dengan udara panas (Toledo, 1999). Proses pengeringan terjadi secara cepat sehingga proses ini sangat bermanfaat untuk bahan pangan yang mudah rusak karena kontak dengan panas dalam waktu lama seperti susu (Earle, 2008). Bahan pangan yang biasa dikeringkan dengan spray drier harus berbentuk bubur atau cairan (Muchtadi, 2008). Susu yang mengandung protein dan laktosa dalam jumlah yang tinggi tidak mungkin mengalami kontak dengan panas dalam waktu yang lama jika tidak diinginkan kerusakan nilai gizi (Subagio, 2002).
Jika menggunakan drum drier, susu akan kontak dengan panas melalui konduksi panas dari bahan logam pada drum yang turut berputar. Tentu saja, kontak antara bahan dengan panas akan lebih lama, sehingga akan merusak nilai gizi susu. Protein pada susu akan terdenaturasi karena panas, sehingga terjadi flokulasi pada susu dan diikuti dengan koagulasi susu (Rahimah, 2010). Walaupun, susu sesuai dengan bentuk bahan pangan yang biasa dikeringkan dengan drum drier, yaitu bubur dan cairan (Muchtadi, 2008). Pada freeze drier, biasanya bentuk bahan pangan yang digunakan berupa bahan beku. Proses pemanasan terjadi secara konduksi atau pun radiasi di dalam ruang vakum dimana keberadaan pompa vakum dapat menghilangkan uap air yang terkandung dalam bahan, kemudian terkondensasi (Earle, 2008). Selain karena kontak antara bahan dengan panas yang sangat lama, diperlukan proses pembekuan susu pada awalnya, yang dapat merusak nilai gizi dari susu tersebut. Susu akan mengalami perubahan flavor dan terjadi flokulasi yang awalnya reversibel menjadi irreversibel (Rahimah, 2010). Meskipun, penggunaan freeze drier dapat memperkecil kerusakan nilai gizi pada susu.
Penggunaan tray drier pada pengeringan diaplikasikan pada produk berbentuk potongan, bubur, atau cairan (Muchtadi, 2008). Bahan diletakkan secara merata di atas wadah dan akan mengering seiring dengan panas melalui dari udara dalam tray drier, konduksi dari wadah yang dipakai, atau pun secara radiasi dari pelat pemanas (Earle, 2008).  Bila susu dikeringkan menggunakan tray drier, susu akan mengalami kontak yang lama dengan panas, sehingga susu akan mengalami kerusakan berupa denaturasi protein yang diikuti oleh flokulasi dan koagulasi susu (Rahimah, 2010).

6.      Apakah vacuum drier dapat digunakan untuk proses freeze drying?
Freeze drying merupakan cara pengeringan paling efektif untuk mencegah terjadinya perubahan nilai mutu dan nilai gizi produk pangan. Pada freeze drying, bahan terlebih dulu dibekukan dan air dikeluarkan dari bahan secara sublimasi, sehingga prosesnya merupakan perubahan dari bahan padat menjadi uap dan proses ini dilakukan dalam keadaan vakum (tekanan < 4 mmHg). Suhu yang digunakan pada freeze drying adalah sekitar 10°F (-12,2 °C). Dengan cara ini, bahan akan terhindar dari kerusakan kimiawi serta mikrobiologis dan menyebabkan bahan pangan kering mempunyai citarasa yang tetap dan daya rehidratasi yang baik, serta nilai gizi yang tetap (Muchtadi, 2008). Sayangnya, proses ini tergolong mahal. Tekanan dalam ruang pengeringan ditentukan oleh temperatur dari bahan pangan. Pompa vakum bekerja untuk mengeluarkan gas tanpa kondensat uap air. Dengan jumlah uap air yang harus disublimasi yang besar, pompa vakum dibantu oleh kondensor yang mengeluarkan uap air dalam bentuk es padat (Toledo, 1999).
Di sisi lain, vacuum drying merupakan proses yang hampir sama dengan freeze drying, dimana pompa vakum berfungsi mengeluarkan gas tanpa kondensat uap air dan kondensor yang berfungsi mengeluarkan uap air tersebut (Toledo, 1999). Perbedaan vacuum drying dan freeze drying hanya terletak pada bentuk bahan pangan yang digunakan. Vacuum drier digunakan untuk mengeringkan bahan pangan berbentuk bubur, potongan, dan cairan, sedangkan freeze drier digunakan untuk mengeringkan bahan pangan berbentuk potongan (padatan). Selain itu, suhu yang digunakan sebagai setting point juga berbeda. Dari analisis ini, dapat diketahui bahwa sebenarnya vacuum drier dapat digunakan untuk freeze drying dengan beberapa perubahan proses. Bahan yang dikeringkan harus dibekukan terlebih dahulu. Selain itu, tekanan pada keadan vakum yang digunakan juga diturunkan. Penurunan tekanan ini akan mengakibatkan suhu yang digunakan juga menjadi lebih rendah, sehingga tercipta kondisi yang sesuai dengan prinsip freeze drying.

Daftar Pustaka
Aksu H, Erkan N, Colak H, Varlık C, Go¨kog˘lu N, & Ug˘ur M. 1997. Some changes in anchovy marinades during production in different acid- salt concentrations and determination of shelf life. Yu¨zu¨ncu¨yıl U¨niversıtesi Veteriner Hayvancılık Dergisi 8, 86–90.
Aubourg S.P. 1998. Influence of formaldehyde in the formation of fluorescence related to fish deterioration. Zeitschrift Fur Lebensmittel-Untersuchung Und-Forschung 206, 29–32.
Culham J.R. 2010. Refrigeration dalam Thermodynamics 2. Ontario: University of Waterloo.
Earle R.L. 2008. Unit operations in food processing. Fourth edition. New Zealand: Pergamon Commonwealth and International Library.
Fellow P.J. 2002. Food Processing Technology, Principles and Practice. Boca Raton: CRC Press.
ICMSF. 1978. Microorganisms in Foods. Volume 2. Toronto: The International Commission on Microbiological Specifications for Foods.
Ilangumaran. 2008. Food Processing and Preservation Full. Utah: Taylor and Francis.
Ilmu dan Teknologi Pangan. 2006. Pengantar Teknologi Pengalengan Pangan. Bogor: ITP IPB.
Kilinc B. dan Cakli S. 2004. Determination of the shelf life of sardine (Sardina pilchardus) marinades in tomato sauce stored at 4°C. Food Control 16, 639-644.
Morgan L. 2001. Bean. Corvalis: Growing Edge.
Muchtadi T.R. 2008. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Bogor: ITP IPB.
Orlick B, Oehlenschlager J, & Schreiber W. 1991. Changes in lipids and nitrogenous compounds in cod (Gadus morhua) and saithe (Pollachius virens) during frozen storage. Archiv fu¨r Fischerei Wissenschaft 41(1), 89–99.
Rahimah S. 2010. Sifat Fisik dan Kimia Susu. Jatinangor: FTIP Unpad.
Smith J.S. dan Hui Y.H. 2004. Food Processing: Principles and Application. Oxford: blackwell Publishing.
Subagio. 2002. Pengaruh Suhu dan Lama Pengeringan terhadap Kadar Air dan Protein Susu Bubuk dengan Metode Foaming Drying. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Toledo R.T. 1999. Fundamental of Food Process Engineering. Athens: Springer.

2 comments: