Memaknai Hidup Seorang Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Tanggal 2 Mei lalu, bangsa Indonesia merayakan sebuah hari besar yang sangat berarti, Hari Pendidikan Nasional. Pendidikan mungkin tidak akan terlaksana tanpa kehadiran guru, pahlawan tanpa tanda jasa. Mungkin kita juga masih terngiang dengan sebuah lagu yang sering disenandungkan sewaktu duduk di bangku sekolah dasar, Hymne Guru. Lagu Hymne Guru merupakan gubahan seorang guru Indonesia, Sartono. Namun, guru yang sangat berjasa ini tidak memiliki sanjungan hidup seperti pada lagu gubahannya.Sartono adalah anak pertama dari empat bersaudara yang harus putus sekolah karena kemelaratan pada jaman penjajahan Jepang. Sartono hanya mampu bersekolah hingga kelas dua di SMA Negeri 3 Surabaya. Sartono kemudian bekerja selama dua tahun di Lokananta, sebuah perusahaan piringan hitam. Setelah itu, Sartono bergabung dengan grup musik keroncong milik TNI AU di Madiun selama tiga bulan. Tahun 1978, Sartono melamar pekerjaan menjadi guru honorer seni musik di SMP Purna Karya Bhakti Madiun. Sekitar tahun 1980, Sartono mulai mengajar kolintang di Perhutani Nganjuk.
Awal mula penciptaan lagu Hymne Guru saat Sartono membaca sebuah sayembara penciptaan lagu tentang guru oleh Depdiknas yang dimuat pada secarik koran. Hadiah sayembara tersebut sebesar Rp 750.000,00. Dengan waktu pengumpulan lagu yang tinggal dua minggu lagi, Sartono bekerja keras merampungkan lagu gubahannya, sampai-sampai ia tidak mengunjungi sanak famili di hari raya Idul Fitri. Lagu tersebut mulanya memiliki syair yang sangat panjang. Kemudian Sartono melakukan kajian ulang dan menghasilkan istilah “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Ia berpendapat bahwa guru merupakan pahlawan yang tidak memiliki tanda jasa apapun setelah masa jabatannya habis, berbeda dengan polisi atau tentara.
Lagu pun akhirnya berhasil ia rampungkan. Namun, masalah kembali muncul. Sartono tidak memiliki cukup uang untuk mengirim hasil karyanya melalui pos. Akhirnya, ia rela menjual jasnya untuk mendapatkan uang. Sartono pun akhirnya memenangkan sayembara tersebut. Hadiah yang diterima berupa cek dan langsung ditukarkan Sartono dengan sepeda motor.
Keberhasilan Sartono tidak menjadikan hidupnya lebih baik. Walaupun lagu Hymne Guru dialunkan di seluruh penjuru Nusantara, Sartono tetap menjadi guru honorer dengan penghasilan Rp 60.000,00. Hanya beberapa piagam yang “berlomba-lomba” membalas jasa Sartono. Selain itu, ia hanya menerima beberapa sumbangan dari petinggi-petinggi ternama yang jumlahnya tidak lebih dari Rp 600.000,00. Sartono kini hidup dengan bermodalkan uang pensiun istrinya yang mantan PNS.
Sungguh besar jasa seorang Sartono bagi pendidikan Indonesia. Namun, Pemerintah Indonesia seakan-akan menutup mata untuk merangkul pahlawan ini. Untuk berusaha menghargai jasa-jasa pahlawan tanpa tanda jasa, sudah sepatutnya kita terus belajar dan berkarya, hingga tidak ada lagi jasa yang sia-sia dari pahlawan tanpa tanda jasa.
0 comments: