Pramusaji Itu! (2)
Aku masih
terus berpikir, apa yang sebenarnya kamu ukir? Dan apa yang sebenarnya kamu coba
tepis?
Bahkan, aku
masih terus mencari arti dari sebuah intuisi diri dalam otak kiri ini.
Kamu tahu? Perlu
waktu dua jam setelah itu. 120 menit setelah terakhir kali aku membelai hangat
rambutmu. 7200 menit setelah kau genggam jemariku dengan penuh keyakinan.
432000 detik setelah kau memberikan intonasi bicaramu yang sangat khas.
Dan apa
hasilnya? Begitu saja, tiba-tiba muncul “aku sayang kamu” dari lapisan tipis
bibirku, terucap oleh papila kecil dari permukaan lidahku.
Dan apa yang
menjadi sangat bodoh? Tidak sampai 10 detik kemudian, ada balasan darimu, “aku
juga sayang kamu”. Langsung saja,
seperti ada voltase besar pada neuron otakku, seperti ada yang
mendesak keluar dari dalam gastro intestinalku, dan seperti ada tekanan batin
yang mendalam dari dalam nuraniku. Bagaimana bisa aku merasakan yang terakhir
ketika aku sama sekali tidak tahu dimana letaknya? Aku tidak peduli, yang jelas
itu sangat bodoh.
Kenapa
bodoh? Karena aku dan kamu sama-sama tidak bisa mengendalikan diri. Terlalu
munafik, terlalu optimis akan derita fana ini.
Sampai
akhirnya, Tuhan berkehendak lain. Ah, sudah! Jangan bawa-bawa Tuhan. Toh, Ia
sudah menorehkan garis hidup kita sejak sebelum kita lahir.
Tetap saja,
yang salah itu kita! Dan, penyakit itu! Kenapa harus hadir di antara aku dan
kamu? Kenapa tidak mencari pasangan lain yang mungkin sudah tidak ingin
mempertahankan hubungannya karena urusan ayunan “mood swinger” atau apapun yang
bisa menyebabkan jalinan itu retak.
Kenapa juga
harus aku yang membenarkan simpul senyuman yang tersungging dari bibirmu agar
tampak lebih sempurna?
Tepat
sebelum alat itu berbunyi “beeeepppppppp”. Satu nada, satu hentakan, satu
irama, tanpa ada jeda. Seakan tidak ada suara lain selain suara itu.
╔════════╗
╠╦╩╦╩╦╩╦╩╣
╚════════╝
“Mas, ini
kwetiau ayamnya. Acar wortelnya saya kasih spesial”, dan tiba-tiba
saja kata-kata itu membuat aku tersadar dari lamunanku. “Ngelamun aja, Mas?”
lanjutnya.
“Iya nih, nunggu temen. Bingung mau ngapain”, jawabku.
“Iya nih, nunggu temen. Bingung mau ngapain”, jawabku.
“Kalo gitu
langsung dimakan aja kwetiaunya. Saya permisi dulu”.
Astaga, baru
saja aku teringat akan bayanganmu dan tiba-tiba saja kamu datang! Walaupun
dengan jati diri yang berbeda, tapi itu sudah cukup membuatku terhibur.
Melihatnya
menuangi setiap gelas-gelas kecil dengan teh tawar dari teko tua itu masih bisa
menjadi hiburan yang aku geluti. Masih ada sosok kamu di dirinya.
Sosok ketika
ia menyajikan gelas-gelas itu.
Sosok ketika
ia mencatat setiap pesanan yang terlontar dari mulutku.
Sosok ketika
ia berupaya ramah terhadapku.
Tapi tetap
saja, masih ada yang kurang. Ia tidak pernah berkata, “Hey, kamu!”
Dan ketika
ia berkata demikian, aku yakin, aku tidak akan bisa membedakan mana ilusi
semata dan realita.
0 comments: