Kutemukan Pesanmu

Butuh 8 purnama hingga akhirnya aku menemukannya.
Bukan waktu yang singkat, tapi buatku ini benar-benar waktu yang panjang.
Di saat aku sudah menyerah, seakan aku tidak akan pernah bisa menggapainya.
Tiba-tiba saja, hari ini, aku menemukannya.

Mungkin, untuk orang lain di luar sana, ini tidak lah sangat spesial.
Bukan sesuatu yang harus diperjuangkan dengan keringat darah penghabisan.
Dan bukan sesuatu yang harus didapat dengan mengalahkan aral melintang.

Buatku, ini lebih dari itu semua. Tahu apa yang aku rasakan saat pertama kali memegangnya?
Tanganku gemetar kencang, jantungku seakan tertarik gravitasi.
Mataku sibuk menyidik satu persatu huruf, membaca setiap detail kata yang tertulis.

Aku cari namamu di dalam onggokan kertas tersebut. Ada! Ada namamu di sana, ada tulisanmu di sana.
Ahh, sial! Semua buku itu masih tersegel. Tapi... Ada! Ada yang segelnya sudah terbuka.
Bagai ikan yang terlalu riang mendapatkan airnya kembali, aku buka buku itu, lembar demi lembar.
Ada! Tapi...

Hatiku tidak bisa menyembunyikan perasaanku.
Dahiku seakan mendukung apa yang aku tidak bisa sembunyikan. Aku mengernyit.
5 halaman saja? Kamu tulis pesan untukku dalam 5 halaman berukuran A5 saja? Dalam 300 kalimat?

Ahh, peduli setan dengan panjang pendeknya.
Mulai ku baca. Aku tenggelam seakan aku berada di hadapanmu. Seolah kamu yang membacakan langsung suratmu itu kepadaku. Lantunan kata itu seakan membangkitkan kembali memori yang sudah lama ku simpan dalam.

Aku terhenyak.
Apakah kamu tahu apa yang ku rasakan sesaat setelah selesai membacanya? Ada rasa yang berkecamuk di dada, ada sesuatu yang ingin membuncah dari dalam diriku.
Kamu, kenapa harus seperti ini?
Kenapa kebetulan masih berlaku?
Kenapa masih ada ikatan pikiran antara aku dan kamu?

Aku tidak percaya, tapi harus ku percaya.
Apakah kamu selama ini bisa membaca pikiran gilaku?
Apakah malaikat sudah sangat berbaik hati menyampaikan keinginanku?
Bagaimana cara dia menyampaikan kepadamu? Tidak, aku tidak berburuk sangka terhadapnya. Aku hanya khawatir, ada rasa yang mungkin lupa dia sampaikan padamu.

Tolong ceritakan padaku lewat cerita lain, surat lain yang mungkin bisa kau sisipkan di tempat lain.
Sebelum akhirnya aku dan kamu memang tidak akan pernah punya kemungkinan untuk bisa bersua kembali.
Terima kasih sudah mau bertelepati denganku.
Dan tolong sampaikan terima kasih pada malaikat baikmu itu.

Untuk Ruas Rusukku

Hey, kamu!
Masih ingat pertama kali kita berkenalan? Aku ingat sekali, kelas bahasa Inggris yang ketika itu dosennya berhalangan hadir. Ahh, aku tidak melihat momen spesial ketika mencoba mengingat setiap detik perkenalan kita.

Hey, kamu!
Seseorang yang ku kagumi sejak semester 1. Tapi mungkin hatiku terlalu kecut ketika kamu menyebutkan hatimu sudah ada penjaganya. Ahh, mungkin aku terlalu menghormati cinta. Bahwa dua orang yang sudah saling menjaga tidak boleh diusik oleh orang ketiga.

Hey, kamu!
Pernahkah kamu merasakan kenyamananku ketika aku dekat denganmu? Walaupun waktuku bersamamu hanya habis untuk membahas masalah sains fana yang tak ada kaitannya dengan cinta.

Ketika Tuhan membukakan jalan untukku tetap selalu bersamamu, ketika itu pula muncul kekhawatiranku karena kekurangan diriku. Mungkin, karena aku tidak pernah melihat ada celah kekurangan pada dirimu.
Tapi, saat itu juga, kamu meyakinkanku untuk terus melangkah bersamamu. Mengarungi ombak kehidupan yang akan mendebur dan memecahkan karang kokoh yang kita bangun bersama.

Berjanjilah untuk tetap ada di sampingku. Agar ku bisa menjagamu, agar ku bisa melengkapi kepingan hatimu yang penuh sinar kebaikan, agar kamu bisa melengkapi ruas rusukku.


7 Januari 2018
Menuju sebuah hubungan halal

Purnama ke-60

Tepat 60 purnama sudah aku rasakan sejak saat itu
Saat dimana aku harus pergi dan merelakan mataku tidak pernah bisa melihat apa yang hatiku rasakan
Masa yang sulit itu, yang tidak pernah aku bayangkan untuk terjadi
Ya, sudah lama sekali

Tapi apa yang bisa aku lakukan saat ini?
Aku tidak pernah berpikir bahwa hatiku akan terpaut padamu hingga sejauh ini
Hal yang lebih tidak bisa aku terima adalah kebodohan logikaku yang dikalahkan oleh rasaku padamu
Rasa yang .... bahkan, aku sendiri sudah tidak bisa menggambarkannya

Menyebut namamu dalam doaku bukanlah sebuah kunci solusi yang bisa semata-mata aku lakukan untuk membenahi diri
Bagaimana jika memang aku yang salah atas keharusanku untuk pergi meninggalkanmu saat itu?
Desir penyesalan memang sering menyeruak dalam nadirku yang tak kunjung aku padamkan hanya dengan mengalihkan fokusku pada hal lain

Berulang kali aku memanggilmu, berusaha mencari keberadaanmu, berupaya mendapatkan secercah kepastian tentang kondisimu kali ini
Tapi mungkin, kebetulan hanya datang di saat yang tidak pernah diharapkan
Saat dimana aku diterpa aral melintang yang tak pernah terpikir akan didampingi olehmu

Aku akan selalu menulis pesan yang sama pada setiap 12 purnama yang aku lewati
Terima kasih untuk kebetulan yang terasa sangat menyenangkan
Derai tangis, air mata bahagia, gundah yang menyelimuti diri, bahkan solusi yang tersirat ketika logikaku kuat
Itu lah aku dengan segenap perasaanku padamu, yang bahkan masih terasa hangat seperti kebetulan yang membahagiakan aku pada 60 purnama lalu
Aku berharap kebetulan masih punya kekuatan untuk sekedar menyampaikan pesanku ini padamu
Terima kasih untuk segala hal, mulai dari A hingga Z

Surat Pura-pura Untuk Kamu

Ketika kamu membuka halaman ini, maka aku pastikan bahwa aku masih tetap di sini, di tempat yang sama.

Aku tidak punya orang spesial yang cukup dekat denganku. Orang yang aku kategorikan sebagai sahabat bahkan tidak masuk ke dalam sebutan orang spesial yang cukup dekat. Aku tidak pernah merasakan kebahaagiaan sedahsyat ini. Ya, aku punya seseorang yang bisa aku kategorikan sebagai orang spesial. Terlebih lagi, aku bisa mengkategorikannya sebagai orang yang cukup dekat.

Aku tidak pernah sebahagia ini. Ketika aku bisa menghibur dan memberikan nasihat sok pintar dan sok bijak atas peliknya masalah hidup yang rela kamu bagi dan ceritakan kepadaku. Mungkin solusi yang aku berikan tidak sebaik sufi-sufi yang sudah memiliki ilmu tinggi tentang asam garam hidup. Tapi yang pasti, neuron dalam otak kanan dan otak kiriku merasa senang bahwa ia telah berhasil setidaknya memberikan jalan keluar untuk memecahkan masalahmu. Selain itu, ia berhasil membuat sebuah ide agar aku berhasil menghiburmu yang sedang lara karena dirundung duka.

Aku tidak pernah sebahagia ini. Ketika aku merasa bosan dengan rutinitas, kamu mampu mengalihkan perhatianku untuk selalu bisa tegar menghadapi apa yang akan terjadi. Kamu juga bukan guru besar atau profesor, tapi aku suka bagaimana neuron di otakmu mengirimkan setiap sinyal untuk membuatku sedikit tersenyum di tengah keadaan yang pelik mencekik. Memang tidak selalu tepat, tapi aku bahagia karena memiliki seseorang yang menaruh perhatian padaku.

Aku tidak pernah sebahagia ini. Ketika aku sendiri menyusuri jalan setapak yang terlalu kelam karena terlena dengan keindahan siang, kamu mampu hadir dan menemaniku dalam hitamnya malam. Menembus gelap, menuju sebuah cahaya yang bisa membuatku merasa nyaman. Ya, itu lebih dari indah. Aku bahkan belum pernah diperlakukan demikian oleh makhluk ciptaan Tuhan lain yang sudah lebih dulu hadir dalam hidupku.

Tapi aku tidak pernah sesakit ini. Aku tidak pernah sekecewa ini. Aku tidak pernah merasakan ini. Belum pernah sekalipun terlintas dalam pikiranku untuk melewatkan fase ini di antara kehadiran kamu di hidupku. Aku masih tidak percaya. Aku tidak akan pernah percaya. Atas apa yang kamu utarakan, atas apa yang kamu coba sampaikan.

Apa?

Maaf, aku berpura-pura lupa agar tidak mampu lagi mengingat kejadian hidup yang baru saja aku alami. Lebih baik begini, bukan? Setidaknya dengan berpura-pura lupa akan membuat aku berpura-pura bahagia. Ya, aku tidak pernah berpura-pura sebahagia ini.

Yang aku ingat, aku harus menitipkan pesan kepadamu bahwa aku berpura-pura untuk menjadi baik-baik saja. Agar kamu tidak perlu berpura-pura untuk tidak mengkhawatirkan aku di depannya. Maaf, mungkin aku salah menyebutkan kata ganti pada kalimat sebelum ini. Aku tidak ingin membawa siapapun ke dalam sini.

Yang aku tahu, aku harus mengucapkan terima kasih kepadamu atas segala upaya yang telah kamu berikan untuk menjadikan aku lebih merasa dihargai. Kita tidak akan pernah tahu jalan apa yang akan menerjang setelah ini. Tidak akan ada yang tahu. Jadi sebaiknya aku bergegas mempersiapkan segala sesuatunya dengan sangat baik untuk berpura-pura tidak terjadi apa-apa.

Terima kasih yang tak terhingga.

Simpang

Kamu pernah berada dalam kegelapan dan menemukan satu titik terang di dalamnya?
Ya, aku pernah merasakan itu. Dan aku merasa sangat tertolong karenanya. Hingga saat ini, aku masih ingat betul bagaimana hal itu bisa menolongku.

Di tengah kebimbangan akan kemelut masa depan yang menurutku waktu itu masih samar abu-abu, kamu hadir di depanku.
Ya, memang bukan untuk mendiktekan aku tentang tujuan hidup, tentang aturan masa depan, bukan juga tentang kebebasan yang bersifat fatamorgana.

Ketika itu kamu hanya menjalani tugasmu. Membagikan secercah bekal untuk remaja tanggung yang tak bisa lagi dikategorikan bocah. Dan tidak ada satu hal pun yang membuat aku tertarik saat itu.
Hingga aku melihat sorot mata yang penuh dengan semangat, lantunan intonasi yang mantap serta gerakan bibir yang mengumbar sejuta ilmu.

Itu lah saat dimana aku tergugah untuk menyelami dunia yang kamu jalani.
Aku ingin merasakan kobaran semangat yang terlihat dari sorot matamu.
Mengarungi ilmu dengan sejuta tantangan.

Sampai pada suatu saat dimana aku memasuki dunia nyata dari segenap teori dan mimpi yang kamu pernah umbar. Lebih pelik rasanya karena aku kehilangan sosok dengan sorot mata penuh kobaran semangat.
Sudah berupaya berjuang semampuku. Tapi apa daya, tak sanggup aku menopangnya.
Aku menyerah. Terombang-ambing dalam kenyataan hidup yang tak menentu.
Ahh, mungkin Tuhan memang tidak menakdirkan aku untuk menyelami dunia yang sama denganmu.

Sampai pada suatu ketika, aku meyakinkan diriku lagi untuk bangkit kembali pada dunia semacam ini. Dan kali itu juga aku melihat sosok dengan kobaran sekangat itu kembali hadir di depanku.
Sosok yang membuat aku terjerumua pada dunia seperti ini. Sosok yang mampu menggugah semangatku sampai ke hati sanubari yang paling dalam.
Banyak hal yang aku dalami bersama denganmu. Banyak hal yang aku gali dengan petunjukmu.

Dan kini, aku berada pada persimpangan yang sebenarnya aku sudah tahu bahwa aku tak akan pernah sanggup untuk memutuskan pilihan dari pilihan ini.
Aku tak mahir dalam mengundi, apalagi berjudi.
Ketika kamu meminta aku untuk terus bersamamu, aku sudah merasa memiliki dunia yang mendukung aku untuk mewujudkan apa yang sudah aku impikan sesuai dengan ilham dari apa yang selalu engkau bagikan padaku.
Aku tak ingin mengecewakanmu. Sungguh. Aku tak ingin memberikan harapan hampa.
Jangan berikan aku pilihan yang sangat sulit kali ini.

Lady Antebellum - Compass




What a unique one!

Titik Asa

Aku telah menjumpai suatu titik cerah penuh asa
Titik yang sinarnya jauh lebih terang daripada sebelumnya
Titik yang hangatnya jauh lebih terasa hingga ke relung hati sekalipun
Titik yang damainya jauh lebih membuatku merasa nyaman
Titik yang bentuknya jauh lebih kokoh dan memiliki konstruksi yang pejal

Bahkan deret aritmatika tak mampu memecahkan notasi kasih yang termaktub di dalamnya
Uji statistika apapun selalu memberikan hasil yang berbeda nyata dan signifikan dengan nilai kepercayaan yang tinggi, bahkan ini sangat sulit dipercaya.
Teori perhitungan laju pertumbuhan makhluk hidup pun tak mampu memecahkan ketidakteraturan pola pertumbuhan rasa yang timbul karenanya.

Bang!
Titik asa itu terlalu berkembang pesat
Hingga akhirnya aku sadar ia telah berada pada fase perkembangan akhir dan bersiap untuk pecah
Bodohnya aku terlambat untuk menyadarinya

Titik itu ternyata hitam
Titik yang warnanya jauh lebih kelam daripada sebelumnya
Titik yang panasnya jauh lebih terasa hingga membakar logika dan mendahulukan rasa
Titik yang penuh kamuflase hingga aku terlena dengan rasa nyaman
Titik yang bentuknya jauh lebih tidak teratur

Sampai suatu masa, aku terpaksa melenyapkan titik itu
Rasanya lebih sakit, usaha yang harus ku kerahkan lebih besar
Aku masih dalam perjalanan untuk betul-betul meninggalkan titik itu
Dan tidak menoleh ke belakang untuk kembali pada titik itu
Semoga saja tidak, karena titik itu pun pasti tidak mau terusik lagi

Pramusaji Itu! (2)


Aku masih terus berpikir, apa yang sebenarnya kamu ukir? Dan apa yang sebenarnya kamu coba tepis?
Bahkan, aku masih terus mencari arti dari sebuah intuisi diri dalam otak kiri ini.
Kamu tahu? Perlu waktu dua jam setelah itu. 120 menit setelah terakhir kali aku membelai hangat rambutmu. 7200 menit setelah kau genggam jemariku dengan penuh keyakinan. 432000 detik setelah kau memberikan intonasi bicaramu yang sangat khas.
Dan apa hasilnya? Begitu saja, tiba-tiba muncul “aku sayang kamu” dari lapisan tipis bibirku, terucap oleh papila kecil dari permukaan lidahku.
Dan apa yang menjadi sangat bodoh? Tidak sampai 10 detik kemudian, ada balasan darimu, “aku juga sayang kamu”.  Langsung saja, seperti ada voltase besar pada neuron otakku, seperti ada yang mendesak keluar dari dalam gastro intestinalku, dan seperti ada tekanan batin yang mendalam dari dalam nuraniku. Bagaimana bisa aku merasakan yang terakhir ketika aku sama sekali tidak tahu dimana letaknya? Aku tidak peduli, yang jelas itu sangat bodoh.
Kenapa bodoh? Karena aku dan kamu sama-sama tidak bisa mengendalikan diri. Terlalu munafik, terlalu optimis akan derita fana ini.
Sampai akhirnya, Tuhan berkehendak lain. Ah, sudah! Jangan bawa-bawa Tuhan. Toh, Ia sudah menorehkan garis hidup kita sejak sebelum kita lahir.
Tetap saja, yang salah itu kita! Dan, penyakit itu! Kenapa harus hadir di antara aku dan kamu? Kenapa tidak mencari pasangan lain yang mungkin sudah tidak ingin mempertahankan hubungannya karena urusan ayunan “mood swinger” atau apapun yang bisa menyebabkan jalinan itu retak.
Kenapa juga harus aku yang membenarkan simpul senyuman yang tersungging dari bibirmu agar tampak lebih sempurna?
Tepat sebelum alat itu berbunyi “beeeepppppppp”. Satu nada, satu hentakan, satu irama, tanpa ada jeda. Seakan tidak ada suara lain selain suara itu.
╔════════╗
╠╦╩╦╩╦╩╦╩╣
╚════════╝
“Mas, ini kwetiau ayamnya. Acar wortelnya saya kasih spesial”, dan tiba-tiba saja kata-kata itu membuat aku tersadar dari lamunanku. “Ngelamun aja, Mas?” lanjutnya.
“Iya nih, nunggu temen. Bingung mau ngapain”, jawabku.
“Kalo gitu langsung dimakan aja kwetiaunya. Saya permisi dulu”.
Astaga, baru saja aku teringat akan bayanganmu dan tiba-tiba saja kamu datang! Walaupun dengan jati diri yang berbeda, tapi itu sudah cukup membuatku terhibur.
Melihatnya menuangi setiap gelas-gelas kecil dengan teh tawar dari teko tua itu masih bisa menjadi hiburan yang aku geluti. Masih ada sosok kamu di dirinya.
Sosok ketika ia menyajikan gelas-gelas itu.
Sosok ketika ia mencatat setiap pesanan yang terlontar dari mulutku.
Sosok ketika ia berupaya ramah terhadapku.
Tapi tetap saja, masih ada yang kurang. Ia tidak pernah berkata, “Hey, kamu!”
Dan ketika ia berkata demikian, aku yakin, aku tidak akan bisa membedakan mana ilusi semata dan realita.